NORWEGIA, SPANYOL DAN IRLANDIA MEGAKUI NEGARA PALESTINA SECARA RESMI

 Spanyol, Irlandia, dan Norwegia Resmi Akui Negara Palestina, Slovenia Menyusul

Langkah ini disambut hangat oleh Palestina dan dunia internasional, namun memicu kecaman keras dari Israel.

Update Nusantara – Kamis, 29 Mei 2025

Tiga negara Eropa—Spanyol, Irlandia, dan Norwegia—secara resmi mengakui kedaulatan negara Palestina pada Selasa (28/5). Langkah ini menjadi tonggak bersejarah dalam upaya internasional mendorong solusi dua negara di Timur Tengah. Slovenia juga mengumumkan akan segera menyusul dalam beberapa hari ke depan.

Deklarasi pengakuan tersebut diumumkan secara terpisah oleh para pemimpin ketiga negara, namun dengan pesan yang sama: pengakuan terhadap Palestina adalah bentuk dukungan terhadap perdamaian, keadilan, dan hukum internasional.

“Ini adalah keputusan untuk mendukung hidup berdampingan secara damai antara dua negara: Israel dan Palestina,” ujar Perdana Menteri Spanyol Pedro Sánchez dalam pernyataan resmi dari Madrid.

Langkah ini merupakan kelanjutan dari pernyataan bersama yang dirilis pada Maret 2024 oleh para pemimpin Irlandia, Malta, Slovenia, dan Spanyol. Saat itu, mereka menyatakan kesiapan mengakui Palestina jika dinilai dapat memberikan kontribusi positif bagi perdamaian kawasan.

Pemerintah Palestina menyambut pengakuan ini sebagai "langkah berani yang memperkuat legitimasi perjuangan rakyat Palestina." Sejumlah negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Uni Afrika juga memberikan dukungan atas keputusan tersebut.

Sebaliknya, Israel mengecam keras langkah tersebut. Pemerintah Israel menyebut pengakuan itu sebagai “hadiah untuk terorisme” dan langsung menarik duta besarnya dari Spanyol, Irlandia, dan Norwegia sebagai bentuk protes diplomatik.

Langkah ini memberi tekanan baru bagi Uni Eropa yang selama ini belum memiliki sikap bulat terkait isu Palestina. Negara-negara seperti Prancis dan Belgia disebut tengah mempertimbangkan keputusan serupa, tergantung perkembangan politik dan keamanan di kawasan.

Dengan pengakuan dari tiga negara Eropa ini, jumlah negara anggota PBB yang mengakui Palestina kini mencapai 146 dari total 193 negara. Keputusan tersebut mencerminkan perubahan signifikan dalam lanskap diplomatik global terkait konflik Israel–Palestina.

Anak Terbaik Bangsa Peneliti Yang Berjasa untuk Dunia

 Baru Tahu ternyata Peneliti dari Indonesia ternyata tak kalah dari banyak negara lain. Sejumlah temuan mereka nyatanya diakui secara global.

Bahkan ada beberapa temuan yang digunakan hingga sekarang, bukan hanya di Indonesia namun bisa ditemui juga di negara-negara lain. Institut Teknologi Batam merangkum setidaknya ada 7 temuan yang berasal dari Indonesia itu, berikut informasinya:


1. R.M Sedyatmo (penemu fondasi cakar ayam)

Temuannya adalah sistem arsitektur infrastruktur atau dikenal dengan fondasi cakar ayam. Salah satu yang menggunakan temuan lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1934 itu adalah landasan pacu Soekarno-Hatta.


2. Khoirul Anwar (penemu konsep dua FFT)

Khoirul yang merupakan lulusan NAIST (Nara Institute of Science and Technology) Jepang menemukan konsep dua fast fourier transform (FFT). Ini merupakan konsep yang kemudian digunakan untuk 4G LTE dan jadi standar untuk International Telecoomunication Union (ITU).

Paten lain yang berhasil dia temukan adalah deteksi ilegal transmitter yang berpotensi digunakan dalam teknologi 5G.


3. Yogi Ahmad Erlangga (penemu rumus matematika dalam perminyakan)

Dia berhasil menyelesaikan persamaan Helmholtz menggunakan matematika numerik secara cepat (robust). Temuan itu digunakan untuk pemrosesan data seismik menjadi seratus kali lebih cepat.

Selain itu juga ditemukan berbagai masalah perminyakan dan berhasil menarik perhatian perusahaan minyak dunia, Shell.

4. Randall Hartolaksono (penemu bahan bakar anti-panas dan anti-api)

Lulusan Universitas of London menemukan bahan anti api dan anti panas dari kulit singkong. Hasil penelitiannya ini diadopsi oleh raksasa otomotif dunia dan diakui banyak perusahaan seperti Petronas dan Ford.

5. Muhammad Nurhuda (penemu kompor ramah lingkungan)

Nurhuda menciptakan kompor ramah lingkungan. Dosen Fakultas MIPA Universitas Brawijaya itu diketahui juga mengembangkan Rancang Bangun Pilot Plan Gasifikasi Sampah Menjadi Syngas untuk Alternatif Pembangkit Energi Listrik yang Ramah Lingkungan. Hasilnya adalah limbah di bawah batas minimum yang telah ditetapkan WHO.

6. Tjokorda Raka Sukawati (penemu sistem penyangga jalan layang)

Temuannya adalah konstruksi Sosrobahu atau Landasan Putar Bebas Hambatan (LPBH) yang digunakan saat pembangunan jalan layanan tanpa mengganggu arus lalu lintas. Salah satu yang mengadopsi temuan tersebut adalah pembangunan jembatan di Seattle di Amerika Serikat (AS).

7. Warsito P. Taruno (penemu alat terapi kanker)

Warsito membuat alat terapi kanker Electro-Capacitive Cancer Therapy (ECCT). Idenya itu berasal dari keinginan membantu kakaknya yang mengidap kanker payudara stadium I

Demikian Anak terbaik Bangsa, dan masih banyak lagi tapi kurang di kenal.

Dari: CNBC

Salah satu Keterampilan yang Sulit Digantikan Oleh AI

Salah satu Keterampilan atau skill yang sulit tergantikan Oleh AI, Yaitu teknisi dan mekanik. Keahlian memperbaiki barang elektronik dan gadget. Serta keahlian mekanik mesin. Semakin kesini orang makin praktis, selama ada uangnya serahkan solusi ke ahlinya. Mesin cuci rusak, kulkas ga dingin, AC rusak, laptop hang layar mati, HP power mati, kendaraan ngadat..dll.. 

Keahlian dimana harga jasanya sulit ditawar karena memang konsumennya ga begitu paham. Di charge 500 rb hingga jutaan pun ya dibayar selama duitnya ada. 

Entahlah... anak2 muda yang nongkrong di warkop dan ngakunya sudah setahunan nglamar pekerjaan ga dapat2 kok ga mau magang dan belajar perihal ketrampilan ini. 

Skill yang makin lama makin langka.. karena tersisa Gen X yang menguasai.

WARIA DILARANG TAMPIL DI PENTAS HAJATAN UMUM :PEMKAB GORONTALO

 Pemerintah Kabupaten Gorontalo melarang para transpuan tampil bernyanyi dalam pentas-pentas hajatan. 

Surat edaran yang diterbitkan Bupati Gorontalo, Sofyan Puhi, pada 25 April 2025, menyebut: "larangan kegiatan keramaian hiburan rakyat dan hajatan pesta yang melibatkan waria [transpuan], biduan, alkohol, narkoba, dan judi".

Para pejabat yang disebut dalam surat diminta berhati-hati memberikan izin kegiatan keramaian, serta memantau dan mencegah "segala bentuk kegiatan dalam hal hiburan rakyat, usaha karaoke, turnamen pertandingan, serta hajatan pesta yang melibatkan waria."

Surat edaran itu juga melarang biduan melakukan "tarian eksotis yang mengandung porno aksi yang melanggar norma kesusilaan."

Sejumlah transpuan di Gorontalo mengaku kebijakan tersebut "menutup pintu rezeki" mereka, serta "keliru dan hanya memperkuat stigma".

"Ini bukan soal pakaian, ini soal keberadaan kami sebagai manusia. Kebijakan ini seperti mimpi buruk," kata salah satu transpuan di Gorontalo.

BBC

Atasi Kemiskinan dengan Cipta Lapangan Kerja : MUI



MUI: Atasi Kemiskinan dengan Cipta Lapangan Kerja, Bukan Pemandulan

Jakarta – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa kemiskinan tidak dapat diatasi melalui program sterilisasi atau pemandulan, melainkan dengan menciptakan lapangan pekerjaan dan pemerataan ekonomi. Hal ini disampaikan sebagai respons terhadap wacana pengendalian penduduk yang mengaitkan jumlah anak dengan kemiskinan.

Ketua MUI Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam Sholeh, mengatakan bahwa manusia bukan beban, melainkan aset pembangunan. Menurutnya, pendekatan yang memandulkan justru melanggar prinsip kemanusiaan dan nilai-nilai agama.

“Pemerintah seharusnya fokus pada solusi yang adil dan bermartabat, seperti menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendidikan, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat,” ujar KH Asrorun dalam keterangan tertulis, Jumat (2/5/25).

MUI juga mengingatkan bahwa pendekatan semacam itu dapat bertentangan dengan ajaran Islam, yang memandang keturunan sebagai amanah dan rezeki. Karena itu, kebijakan pengendalian penduduk perlu dikaji ulang agar tidak menimbulkan dampak sosial dan moral jangka panjang.

Wacana pemandulan sebagai solusi kemiskinan menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Beberapa pihak menilai pendekatan tersebut terlalu ekstrem dan tidak menyentuh akar masalah, yakni ketimpangan ekonomi dan rendahnya akses terhadap pekerjaan.

MUI mengajak semua pihak, khususnya pemerintah, untuk mengedepankan kebijakan yang manusiawi, adil, dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan agama.

Syekh Haji Musthafa Husein Nasution, Pendiri Ponpes Musthafawiyah Purba Baru

 Sejarah Syekh Haji Musthafa Husein Nasution, Pendiri Ponpes Musthafawiyah Purba Baru Mandailing Sumut



Syekh Haji Musthafa Husein Nasution bin Husein Nasution bin Umar Nasution al-Mandaili adalah seorang Ulama terkemuka di Sumatera Utara yang meninggalkan karya bangunan keislaman monumental yaitu Madrasah di desa Purba Baru, kabupaten Mandailing Natal (Madina) Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru.

Saat ini nama Syekh Musthafa Husein diabadikan pada salah satu gedung utama di Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara Medan yang berembiro dari Universitas Nahdlatul Ulama Sumatera Utara.

Ponpes Musthafawiyah sebagai asal sejarah tumbuhnya Nahdlatul Ulama di Sumatera Utara yang dibawa oleh Syekh Musthafa Husein pada 1945 dan diresmikan pada Februari 1947 di kota Padangsidimpuan.

Tahun 1936, pemerintah Belanda memberikan bintang jasa padanya atas usahanya dalam bidang pendidikan, pada masa Agresi Belanda sesudah Indonesia merdeka ia bersama ulama seperti Syekh Ja’far Abdul Kadir al-Mandily dan H. Fakhruddin Arif pernah mengeluarkan fatwa wajib (fardu’ain) bagi setiap muslim yang mukallaf mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda.

Syekh Musthafa Husein tidak hanya seorang Ulama besar, tetapi dia juga adalah seorang wiraswasta dan sekaligus sebagai politikus dan cendikiawan yang ikut menghantarkan kemerdekaan bangsa ini dari kolonialisme Belanda dan Jepang.

Dia juga adalah seorang Tokoh Pergerakan, seorang Ulama Mujahid, penggerak dan pelopor bagi persatuan dan pembangunan umat, sehingga Madrasah Musthafawiyah dapat dianggap sebagai pesantren pelopor dan perintis bagi perkembangan ilmu pengetahuan agama pada awal abad ke-20, khususnya di Tapanuli Bagian Selatan (Tabagsel)/ Mandailing , umumnya Sumatera Utara.

Madrasah yang pertama didirikan di Mandailing adalah Madrasah Islamiyah yang dibangun oleh Syekh Musthafa Husein di Tano Bato, Kayu Laut sekitar tahun 1912, kemudian beliau pindah ke desa Purba Baru pada tahun 1915, di tempat inilah dilanjutkan pendidikan Islam yang kemudian bernama Madrasah/Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru, Mandailing.

Setelah berdiri lembaga pendidikan Islam di Purba Baru, kemudian berdiri pula beberapa Madrasah Islamiyah di daerah lain antara tahun 1927 sampai 1935.

Lembaga pendidikan Islam ini cukup besar peranannya dalam penyebaran dan pengembangan Islam di Mandailing. 

Pondok Pesantren Musthafawiyah, Purba Baru, telah memiliki alumni terbesar di seluruh pelosok Nusantara, banyak alumni Musthafawiyah yang melanjutkan kuliah ke berbagai perguruan tinggi di dalam maupun luar negeri dan telah berhasil di berbagai bidang.

Di Musthafawiyah, Syekh Musthafa Husein dipanggil dengan sebutan Tuan Guru na Tobang, dan seorang menantunya yang bernama Syekh Abdul Halim Khatib sebagai Rais al- Mu‘allimin dipanggil dengan sebutan Tuan Guru na Poso, dalam bahasa Mandailing, poso artinya muda.

Karena itu, Tuan Guru na Poso berarti tuan guru yang muda. Pada satu sisi, memang usia Syekh Abdul Halim Khatib jauh lebih muda dibanding Syekh Musthafa Husain. Namun, sebutan na poso tersebut lebih dimaksudkan agar masyarakat dapat membedakan antara kedua kiai tersebut.

Ponpes Musthafawiyah adalah pondok klasik yang mempelajari kitab-kitab kuning, di antara kitab-kitab yang dipelajari di pesantren ini adalah Hasyiyah Al-Bajuri, Tafsir al-Jalalain, Hasyiyah Syarqawy ‘ala At-Tahrir, Bulughul Maram, Syarh Ibn A’qil, Kawakib Ad-Duriyyah, Matn Arba‘in Al-Nawawiyah, Hasyiyah Dusuki ‘ala Ummi al-Barahin dan lain-lain.  

K.H. Sirajuddin Abbas telah memasukkan nama Syeikh Musthafa Husein di dalam bukunya “Keagungan Mazhab Syafii” sebagai penyebar Mazhab Syafiiyyah di Indonesia.

Pada awalnya, lembaga pendidikan Islam yang dibangun Syekh Musthafa Husein disebut sekolah Arab atau maktab, Kemudian, pada tahun 1950-an, atas usul Syekh Ja’far Abdul Wahab, sebutan maktab diganti dengan Madrasah Musthafawiyah.

Akhirnya, pada tahun 1990-an, sebutan madrasah diganti dengan Ma‘had atau Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru.

Kisah Syekh Musthafa Husein

Muhammad Yatim nama kecil Syekh Musthafa Husein lahir pada pada tahun 1303 H atau 1886 M di desa Tanobato, Kayu Laut, Madina.

Keadaan masyarakat di Tanobato saat itu sangat menyedihkan akibat perlakuan penjajah Belanda yang memberlakukan sistem tanam paksa bagi para petani.

Pemerintah kolonial Belanda pada masa sebelumnya membawa sistem paksa dalam penanaman kopi beserta pengangkutannya dari pedalaman ke pantai.

Pada masa itu pemerintah kolonial membangun pergudangan kopi di Pekantan di daerah pedalaman Sumatera di dekat perbatasan dengan daerah Pasaman, Sumatera Barat, Muarasipongi, Kotanopan, Maga, Pasar Tanobato, Tapus dan Natal.

Muhammad Yatim lahir dari keluarga yang taat beragama, ayahnya bernama Haji Husein bin Umar Nasution.

Haji Husein adalah seorang saudagar shalih, menekuni bidang usaha dagang hasil pertanian seperti beras, karet, kopi dan cengkeh.

Haji Husein berasal dari Huta (Desa) Purbabaru, namun kakek-kakeknya berasal dari Panyabungan Julu, Ibu dari Muhammad Yatim adalah Hajjah Halimah, berasal dari Ampung Siala, Batang Natal.

Keluarga Haji Husein dan Hajjah Halimah dikarunianya sembilan orang anak. Muhammad Yatim adalah anak ketiga. Dalam usia tujuh tahun, Muhammad Yatim disekolahkan oleh ayahnya di sekolah rakyat (Volk School) di Kayu Laut. 

Pada masa ini, ia belajar selama lima tahun, setelah menyelesaikan pendidikan di masa ini, seorang gurunya (Sutan Guru) meminta kepada orangtua Muhammad Yatim agar Muhammad Yatim melanjutkan ke jenjang Sekolah Raja di Bukit Tinggi.

Karena gurunya tersebut menilai bahwa Muhammad Yatim adalah anak yang cerdas dan cukup mampu. Akan tetapi, orangtua Muhammad Yatim lebih cenderung menginginkan anaknya untuk belajar agama Islam kepada Syekh Abdul Hamid di Huta Pungkut, Kotanopan.

Huta pungkut pada masa itu adalah termasuk ke dalam wilayah Ke-Kuriaan Tamiang, adalah desa yang dikenal banyak melahirkan tokoh-tokoh pejuang kebangsaan dan orang terpelajar.

Muhammad Yatim belajar kepada Syekh Abdul Hamid Lubis sekiar tiga tahun (1897 M – 1900 M) dengan sistem belajar yang bukan formal, yang mana beliau tinggal bersama dengan Syekh Abdul Hamid Lubis.

Pengajiannya hanya sekali seminggu yaitu pada setiap hari Ahad. Selain itu, Muhammad Yatim mengikuti Syekh Abdul Hamid berkebun kopi yang jaraknya 3 Kilometer dari desa Huta Pungkut.

Tidak jarang mereka bermalam di kebun dan baru kembali ke desa menjelang pengajian berlangsung.

Kedekatannya dengan guru telah menghasilkan perilaku Islami pada diri Muhammad Yatim dan pada dirinya semakin tumbuh suatu keyakinan dan kepercayaan yang kuat untuk lebih giat belajar ilmu pengetahuan Islam.

Atas bimbingan Syekh Abdul Hamid inilah muncul semangat pada diri Muhammad Yatim untuk memperdalam ilmu agamanya di Makkah, demikian pula Haji Husein (orangtuanya) yang juga berharap dan bercita-cita agar anaknya dapat belajar di Makkah.

Atas anjuran Syekh Abdul Hamid Lubis, maka kemudian diambil kesepakatan untuk memberangkatan Muhammad Yatim merantau ke Makkah bersama jama’ah haji dari Mandailing pada masa itu.

Selama 13 tahun, Musthafa Husein bermukim sekaligus mendalami ilmu agama di Makkah, yakni mulai tahun 1319 H hingga 1332 H.

Musthafa Husein tidak pernah pulang ke tanah airnya selama di Makkah sehingga hubungan dengan keluarga di tanah air adalah melalui jama’ah haji ataupun keluarga yang datang dari Mandailing.

Sebagaimana layaknya perantau yang sedang menimba ilmu dan cinta akan tanah airnya, Musthafa Husein amat memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesempatan yang dimilikinya.

Hingga pada tahun 1330 H/1991 M, Musthafa Husein mendengar berita wafatnya ayahnya, beberapa waktu kemudian ibunya memanggil Musthafa Husein agar pulang ke Mandailing. Panggilan ibunda itu dipenuhinya, tepat pada tanggal 1 Muharram beliau meninggalkan Makkah, setelah melaksanakan ibadah haji.

Musthafa Husein tiba di Mandailing pada bulan Rabiul awal tahun 1332 H (sekitar bulan Januari – Februari 1914 M) untuk menjawab panggilan sang ibu dan juga untuk berziarah ke makam ayahnya.

Sesudah berziarah ia merencanakan akan kembali ke Makkah untuk memperdalam ilmu agama Islam yang dirasanya belum memadai. Namun, setelah kembali bersama keluarganya di Mandailing, beliau tidak lagi diperbolehkan untuk kembali ke Makkah.

Hal itu dipenuhinya dengan ikhlas atas permintaan keluarga dan masyarakat yang membutuhkan guru agama Islam dan untuk mengembangkan syariat Islam di Mandailing.

Pada bulan syawal tahun 1332 H (sekitar bulan Agustus – September 1914 M), atas permintaan keluarganya, Musthafa Husein menikah dengan seorang gadis bernama Habibah, yang asalnya dari Huta Pungkut, Kotaponan.

Seorang yang masih merupakan kerabat dekat dari Abdul Haris Nasution yang saat itu masih usia belia. Peristiwa itu adalah masuk dalam bulan ketujuh setelah tiba pada bulan Rabiul awal di Mandailing.

Pasangan ini dikaruniai 10 orang anak, yakni dua orang anak laki-laki dan delapan orang anak perempuan. Anak perempuan yang pertama dinikahkan dengan Syekh Muhktar Siddik, anak perempuan yang kedua dinikahkan dengan Syekh Ja’far Abdul Wahab.

Pada malam rabu 5 November 1955, Syekh Musthafa Husein terkena serangan penyakit, saat itu usianya mencapai 70 tahun, hingga kemudian dibawa ke Padangsidimpuan untuk dirujuk ke rumah sakit.

Di Padangsidimpuan, sebelum dibawa ke rumah sakit, ia dibawa ke rumah menantunya, yakni Syekh Ja’far Abdul Wahhab yang dikenal sebagai “Ayah Mesir”, dalam pengawasan dokter. Darah tinggi dan diabetes adalah yang menjadi penyakitnya selama sekitar satu minggu.

Ulama bersahaja itu akhirnya menghembuskan napas yang terakhir pada hari Rabu 16 November 1955 / 1 Rabiulawal 1375 H, Pukul 16:15 WIB di Padangsidimpuan.

Jenazahnya dibawa kembali ke Purba Baru pada hari kamis esoknya, dengan iringan yang cukup ramai disertai sambutan penuh haru dan rasa pilu yang mendalam.

Desa Purba Baru penuh sesak oleh ribuan orang pelayat yang datang dari berbagai daerah sebagai tanda turut berduka dan untuk memberikan penghormatan terakhir .

Sepeninggal Syekh Musthafa, Pondok pesantren Musthafawiyah, purba baru  dikelola dan dipimpin oleh putra tertuanya, Haji Abdullah Musthafa Nasution.

Sejak mendirikan Madrasah Musthafawiyah sampai wafatnya Syekh Musthafa Husein, kepemimpinan pesantren tetap berada di tangannya.

Pada periode tersebut Syekh Musthafa Husein memegang kepemimpinan tunggal (single leader). Ia hanya dibantu oleh seorang sekretaris dan bendahara dalam mengoperasikan pesantren, dan pada akhir jabatannya, ia mewariskan 9 ruang belajar dan 4500 orang santri. Dan Mustofawiah terus berkembang hingga hari ini santri nya kurang lebih 14.000 orang.


B Rosadi R

HAFAL AL QURAN APAKAH JDI GARANSI MASUK SYURGA

HAFAL AL QURAN BUKAN GARANSI



Waktu rame-rame ada seleb youtube mengaku hafal Al Quran waktu kecil, lalu kelakuannya sekarang bertolak belakang. Ada yang mengetes kekuatan hafalannya. Dan memang kurang lancar. Karena mungkin jarang murajaah.

Sekarang ada pelaku pedofilia yang hafal Al Quran, apa juga mau dites hafalannya. 

Sebenarnya ada kekeliruan narasi, bahwa kalau sudah hafal Al Quran itu sudah garansi kelakuan bakal baik. Dalam kenyataannya ngga begitu. Hafal Al Quran adalah satu hal. Dan bukan garansi orangnya akan begini dan begitu.

Al Hajjaj Ats Tsaqafi itu dikenal pemimpin kejam. Dia dikenal sebagai seorang penguasa yang cerdas namun keras dan kejam. Disebutkan dia telah bertanggung jawab atas kematian ribuan jiwa. Namun ia juga dikenal sebagai orang yang menghormati Al-Qur'an dan berjasa dalam perluasan wilayah dinasti Umayyah.

PR Pendidikan bukan sekedar kognitif. Sekolah dan kampus bisa mengajarkan banyak pengetahuan dan keterampilan. Tetapi pendidikan karakter adalah tugas orang tua.

Hanif Acef

Genk Motor Membawa Senjata Tajam

Genk Motor Membawa Senjata Tajam (GEMOT DAN SAJAM): Potret Kegagalan Pendidikan atau Energi Pemuda yang Salah Kelola?”

Fenomena remaja yang melakukan konvoi sambil membawa senjata tajam (sajam) semakin marak di berbagai kota di Indonesia. Mereka yang sering dijuluki sebagai "anak-anak Gemot" — dengan energi yang meluap-luap, sering diidentikkan dengan kenakalan, bahkan kekerasan. Sayangnya, reaksi masyarakat dan pemerintah lebih cenderung menghakimi daripada memahami akar persoalan. Pertanyaannya: apakah mereka korban atau pelaku?

Di Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM) mengambil langkah berbeda. Anak-anak yang terjaring aksi konvoi liar dan membawa sajam tidak serta-merta dikriminalisasi, melainkan dibina melalui pendekatan militer di barak TNI. Mereka mendapatkan pelatihan fisik, kedisiplinan, tanggung jawab, dan pembentukan karakter. Pendekatan ini mirip dengan yang diterapkan di beberapa negara Asia seperti Tiongkok dan Korea Selatan, yang mengintegrasikan nilai-nilai nasionalisme dan kedisiplinan dalam pendidikan alternatif.

Model pembinaan yang diterapkan KDM menyiratkan bahwa akar dari tindakan menyimpang remaja adalah lemahnya sistem pendidikan karakter, baik di rumah maupun di sekolah. Terlebih, banyak dari anak-anak ini berasal dari keluarga tidak utuh, kurang perhatian, atau lingkungan yang permisif terhadap kekerasan. Hal ini sejalan dengan pendapat Bronfenbrenner (1979) dalam _Ecological Systems Theory_, bahwa lingkungan mikro seperti keluarga dan sekolah sangat menentukan perilaku anak.

Dalam perspektif yang lebih positif, anak-anak "Gemot" ini sebenarnya memiliki potensi besar: keberanian, solidaritas kelompok, kemampuan fisik, dan semangat juang. Sayangnya, karena tidak diarahkan, energi ini berubah menjadi destruktif. Inilah pentingnya pendekatan pendidikan yang tidak hanya normatif, tapi juga adaptif dan kontekstual terhadap kebutuhan psikososial remaja.

Mengapa pendekatan normatif semata tidak cukup? Karena remaja butuh ruang untuk mengekspresikan diri. Mereka tidak bisa terus-menerus dicekoki nilai moral tanpa ruang aktualisasi. Ketika ruang positif itu tidak tersedia, maka jalan negatif menjadi pilihan logis — seperti geng motor, tawuran, atau penggunaan sajam sebagai simbol eksistensi.

Pendidikan kita, baik formal maupun nonformal, terlalu banyak bicara tentang nilai tetapi minim pada penguatan karakter melalui pengalaman langsung. Pendidikan karakter sejatinya tidak cukup diajarkan, tetapi harus dilatih dan dibiasakan dalam konteks nyata. Sebagaimana ditegaskan Lickona (1991), karakter tumbuh dari kebiasaan baik yang terus-menerus dilakukan.

Di sinilah peran orang tua menjadi krusial. Namun ironisnya, banyak orang tua justru menjadi pihak yang paling abai. Tidak sedikit dari mereka yang menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pembentukan karakter kepada sekolah. Padahal, keluarga adalah madrasah pertama dan utama. Kegagalan komunikasi dan keterlibatan orang tua menjadi faktor dominan dalam munculnya perilaku menyimpang pada remaja.

Bukan hanya orang tua, masyarakat juga turut andil dalam pembentukan perilaku anak. Budaya permisif, glorifikasi kekerasan di media sosial, dan minimnya ruang publik untuk aktivitas remaja turut menciptakan ekosistem yang tidak ramah anak. Pendidikan tidak bisa berjalan sendiri tanpa dukungan sosial yang kuat.

Pemerintah daerah seharusnya menjadikan model pembinaan seperti yang dilakukan di Jawa Barat sebagai inspirasi untuk solusi jangka panjang. Mengapa tidak dibuat boarding school berbasis kedisiplinan, pelatihan fisik, dan keterampilan kerja bagi remaja penyintas lingkungan keras? Langkah seperti ini jauh lebih visioner daripada sekadar razia malam minggu.

Selain itu, para tokoh agama dan ulama juga harus hadir dengan narasi solutif, bukan hanya menyampaikan ceramah normatif. Dakwah yang kontekstual, membumi, dan mengajak remaja dengan pendekatan psikologis dan sosial akan jauh lebih berdampak daripada sekadar himbauan moralistik.

Pemerintah kota Medan dan provinsi Sumatera Utara seharusnya menjadikan ini sebagai momentum untuk berbenah. Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei 2025 ini semestinya menjadi titik balik untuk merefleksikan apakah pendidikan kita benar-benar menjangkau semua anak, atau hanya terbatas pada yang “terlihat baik” saja.

Pendidikan bukan hak eksklusif bagi anak-anak berprestasi semata. Pendidikan adalah hak semua anak, termasuk mereka yang terpinggirkan oleh sistem. Mengutip Ki Hajar Dewantara: _“Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.”_ Maka dari itu, pendekatan pendidikan harus holistik dan lintas sektor.

Kita harus berhenti menghakimi remaja yang menyimpang sebagai "beban sosial." Mereka adalah potensi bangsa yang salah kelola. Seperti bara api, bisa membakar atau menerangi, tergantung bagaimana kita mengelolanya. Ketika mereka dipahami dan difasilitasi, bukan mustahil mereka menjadi pemimpin masa depan.

Penanganan terhadap anak-anak “Gemot bersenjata” harus dilandasi oleh paradigma restoratif, bukan retributif. Pendidikan berbasis kasih sayang, penghargaan terhadap potensi individu, dan disiplin yang terarah merupakan kunci utama pembinaan remaja bermasalah. Hal ini sejalan dengan pendekatan restorative justice yang kini mulai diterapkan dalam banyak sistem peradilan anak di dunia.

Semoga tulisan ini menjadi bahan refleksi bagi para orang tua, pendidik, pemimpin daerah, dan tokoh agama untuk melihat bahwa setiap anak punya potensi. Gemot dan Sajam bukan vonis, tapi sinyal bahwa ada pekerjaan rumah besar bagi kita dalam membenahi sistem pendidikan dan sosial. Mari kita sambut Generasi Emas 2045 dengan membangun generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga kuat karakter dan jiwa kepemimpinannya. Selamat Memperingati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025.

*Engran Silalahi*