Genk Motor Membawa Senjata Tajam (GEMOT DAN SAJAM): Potret Kegagalan Pendidikan atau Energi Pemuda yang Salah Kelola?”
Fenomena remaja yang melakukan konvoi sambil membawa senjata tajam (sajam) semakin marak di berbagai kota di Indonesia. Mereka yang sering dijuluki sebagai "anak-anak Gemot" — dengan energi yang meluap-luap, sering diidentikkan dengan kenakalan, bahkan kekerasan. Sayangnya, reaksi masyarakat dan pemerintah lebih cenderung menghakimi daripada memahami akar persoalan. Pertanyaannya: apakah mereka korban atau pelaku?
Di Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM) mengambil langkah berbeda. Anak-anak yang terjaring aksi konvoi liar dan membawa sajam tidak serta-merta dikriminalisasi, melainkan dibina melalui pendekatan militer di barak TNI. Mereka mendapatkan pelatihan fisik, kedisiplinan, tanggung jawab, dan pembentukan karakter. Pendekatan ini mirip dengan yang diterapkan di beberapa negara Asia seperti Tiongkok dan Korea Selatan, yang mengintegrasikan nilai-nilai nasionalisme dan kedisiplinan dalam pendidikan alternatif.
Model pembinaan yang diterapkan KDM menyiratkan bahwa akar dari tindakan menyimpang remaja adalah lemahnya sistem pendidikan karakter, baik di rumah maupun di sekolah. Terlebih, banyak dari anak-anak ini berasal dari keluarga tidak utuh, kurang perhatian, atau lingkungan yang permisif terhadap kekerasan. Hal ini sejalan dengan pendapat Bronfenbrenner (1979) dalam _Ecological Systems Theory_, bahwa lingkungan mikro seperti keluarga dan sekolah sangat menentukan perilaku anak.
Dalam perspektif yang lebih positif, anak-anak "Gemot" ini sebenarnya memiliki potensi besar: keberanian, solidaritas kelompok, kemampuan fisik, dan semangat juang. Sayangnya, karena tidak diarahkan, energi ini berubah menjadi destruktif. Inilah pentingnya pendekatan pendidikan yang tidak hanya normatif, tapi juga adaptif dan kontekstual terhadap kebutuhan psikososial remaja.
Mengapa pendekatan normatif semata tidak cukup? Karena remaja butuh ruang untuk mengekspresikan diri. Mereka tidak bisa terus-menerus dicekoki nilai moral tanpa ruang aktualisasi. Ketika ruang positif itu tidak tersedia, maka jalan negatif menjadi pilihan logis — seperti geng motor, tawuran, atau penggunaan sajam sebagai simbol eksistensi.
Pendidikan kita, baik formal maupun nonformal, terlalu banyak bicara tentang nilai tetapi minim pada penguatan karakter melalui pengalaman langsung. Pendidikan karakter sejatinya tidak cukup diajarkan, tetapi harus dilatih dan dibiasakan dalam konteks nyata. Sebagaimana ditegaskan Lickona (1991), karakter tumbuh dari kebiasaan baik yang terus-menerus dilakukan.
Di sinilah peran orang tua menjadi krusial. Namun ironisnya, banyak orang tua justru menjadi pihak yang paling abai. Tidak sedikit dari mereka yang menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab pembentukan karakter kepada sekolah. Padahal, keluarga adalah madrasah pertama dan utama. Kegagalan komunikasi dan keterlibatan orang tua menjadi faktor dominan dalam munculnya perilaku menyimpang pada remaja.
Bukan hanya orang tua, masyarakat juga turut andil dalam pembentukan perilaku anak. Budaya permisif, glorifikasi kekerasan di media sosial, dan minimnya ruang publik untuk aktivitas remaja turut menciptakan ekosistem yang tidak ramah anak. Pendidikan tidak bisa berjalan sendiri tanpa dukungan sosial yang kuat.
Pemerintah daerah seharusnya menjadikan model pembinaan seperti yang dilakukan di Jawa Barat sebagai inspirasi untuk solusi jangka panjang. Mengapa tidak dibuat boarding school berbasis kedisiplinan, pelatihan fisik, dan keterampilan kerja bagi remaja penyintas lingkungan keras? Langkah seperti ini jauh lebih visioner daripada sekadar razia malam minggu.
Selain itu, para tokoh agama dan ulama juga harus hadir dengan narasi solutif, bukan hanya menyampaikan ceramah normatif. Dakwah yang kontekstual, membumi, dan mengajak remaja dengan pendekatan psikologis dan sosial akan jauh lebih berdampak daripada sekadar himbauan moralistik.
Pemerintah kota Medan dan provinsi Sumatera Utara seharusnya menjadikan ini sebagai momentum untuk berbenah. Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei 2025 ini semestinya menjadi titik balik untuk merefleksikan apakah pendidikan kita benar-benar menjangkau semua anak, atau hanya terbatas pada yang “terlihat baik” saja.
Pendidikan bukan hak eksklusif bagi anak-anak berprestasi semata. Pendidikan adalah hak semua anak, termasuk mereka yang terpinggirkan oleh sistem. Mengutip Ki Hajar Dewantara: _“Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.”_ Maka dari itu, pendekatan pendidikan harus holistik dan lintas sektor.
Kita harus berhenti menghakimi remaja yang menyimpang sebagai "beban sosial." Mereka adalah potensi bangsa yang salah kelola. Seperti bara api, bisa membakar atau menerangi, tergantung bagaimana kita mengelolanya. Ketika mereka dipahami dan difasilitasi, bukan mustahil mereka menjadi pemimpin masa depan.
Penanganan terhadap anak-anak “Gemot bersenjata” harus dilandasi oleh paradigma restoratif, bukan retributif. Pendidikan berbasis kasih sayang, penghargaan terhadap potensi individu, dan disiplin yang terarah merupakan kunci utama pembinaan remaja bermasalah. Hal ini sejalan dengan pendekatan restorative justice yang kini mulai diterapkan dalam banyak sistem peradilan anak di dunia.
Semoga tulisan ini menjadi bahan refleksi bagi para orang tua, pendidik, pemimpin daerah, dan tokoh agama untuk melihat bahwa setiap anak punya potensi. Gemot dan Sajam bukan vonis, tapi sinyal bahwa ada pekerjaan rumah besar bagi kita dalam membenahi sistem pendidikan dan sosial. Mari kita sambut Generasi Emas 2045 dengan membangun generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga kuat karakter dan jiwa kepemimpinannya. Selamat Memperingati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025.
*Engran Silalahi*
No comments:
Post a Comment
terima kasih sudah berkunjung