LIRIK LAGU INDONESIA RAYA VERSI BARU

LIRIK LAGU INDONESIA 
STANZA 

Bait I 
Indonesia tanah airku, 
Tanah tumpah darahku, 
Disanalah aku berdiri, 
Jadi pandu ibuku. 

Indonesia kebangsaanku, 
Bangsa dan tanah airku, 
Marilah kita berseru, 

Indonesia bersatu. 
Hiduplah tanahku, 
Hiduplah ne’griku, 
Bangsaku, Rakyatku, semuanya, 
Bangunlah jiwanya, 
Bangunlah badannya, 
Untuk Indonesia Raya. 

Bait II 
Indonesia, tanah yang mulia, 
Tanah kita yang kaya, 
Di sanalah aku berdiri, 
Untuk s’lama-lamanya. 
Indonesia, tanah pusaka, 
P’saka kita semuanya, 
Marilah kita mendoa, 

Indonesia bahagia. 
Suburlah tanahnya, 
Suburlah jiwanya, 
Bangsanya, Rakyatnya,  
semuanya, 
Sadarlah hatinya, 
Sadarlah budinya, 
Untuk Indonesia Raya. 

Bait III 
Indonesia, tanah yang suci, 
Tanah kita yang sakti, 
Di sanalah aku berdiri, 
N’jaga ibu sejati. 

Indonesia, tanah berseri, 
Tanah yang aku sayangi, 
Marilah kita berjanji, 
Indonesia abadi. 
S’lamatlah rakyatnya, 
S’lamatlah putranya, 
Pulaunya, lautnya, semuanya, 
Majulah Neg’rinya, 
Majulah pandunya, 
Untuk Indonesia Raya. 

Reff : 
Indonesia Raya, 
Merdeka, merdeka, 
Tanahku, Neg’riku yang kucinta! 
Indonesia Raya, 
Merdeka, merdeka, 
Hiduplah Indonesia Raya.

SEJARAH IKHWAN DAN KERAJAAN SAUDI

SAUDI DAN IKHWAN

 ==DARI KEMESRAAN SAMPAI PERSETERUAN==

Sinopsis
Ketika anda mengkritik kebijakan-kebijakan Al-Mamlakah Al-Arabiyah Al-Sa'udiyah, terlebih anda pernah menikmati fasilitas yang diberikan oleh KSA, biasanya anda akan divonis dengan tak tau diri, air susu dibalas dengan air kencing onta, pengkhianat dan dengki dengan negara tauhid. Hal yang sama dialami oleh Al-Ikhwan Al-muslimin, sebab Saudi adalah tempat pengasingan paling aman dan menerima Ikhwan dengan tangan terbuka di era 60-an ketika Ikhwan diburu oleh rezim diktator baik di Mesir, Irak dan Suriah. 

Jadi, bagaimana kita mendeskripsikan hubungan Saudi dan Ikhwan? Apakah itu seperti hubungan seorang tuan rumah kaya raya yang menampung seorang compang-camping yang terlunta dan terusir dari kampung halamannya? Atau itu adalah hubungan simbiosis mutualisme antara sebuah kerajaan yang butuh terhadap para ulama reformis, tenaga pengajar dan kader-kader yang potensial ditempatkan dibanyak lini dengan tokoh-tokoh pelarian politik yang butuh tempat aman untuk menyebarkan pemikirannya?
Karena Ikhwan bisa saja balik menuduh: ini orang Badui sudah diajarin biar nggak jumud, dibuat kurikulum di sekolah-sekolah dan universitas ujung-ujungnya balik melabrak guru. Dasar durhaka.! 

Maka, untuk itu kita perlu kembali mengorek-ngorek sejarah berdirinya KSA di era ini. Hubungannya dengan tokoh Salafiyah Islahiyah (untuk membedakannya dengan salafiyah taqlidiyah Saudi) seperti Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib dan lain-lain lalu membaginya dalam tiga fase. 

Fase pertama dimulai dari era pendirinya King Abdul Aziz dan penerusnya Raja Sa'ud bin Abdul Aziz. Fase ini kurang lebih berlangsung selama 32 tahun. Mulai dari tahun 1932 sampai tahun 1964 ketika Raja Sa'ud dicopot dari jabatannya. 

Fase kedua adalah fase ketika Asy-Syahid Malik Faishal -rahimahullah- naik tahta. Fase ini adalah fase paling mesra hubungan Saudi dan Ikhwan. Di dekade ini, tokoh-tokoh Ikhwan menjadi penasehat kerajaan, menjadi dekan dan dosen di Universitas-universitas Saudi. Mereka membuat kurikulum universitas-universitas Saudi, menjadi pembimbing dan penguji didertasi dan lain-lain. Di era ini Rabithah 'Alam Islami menjadi corong bagi Ikhwan untuk mengkampanyekan kepada umat Islam isu Palestina/Al-quds dan problematika-problematika umat lainnya. Kemudian WAMY sebagai organisasi pemuda muslim yang digunakan Ikhwan untuk mengkader para pemuda di seluruh dunia. Fase ini berlangsung kurang lebih selama 27 atau 28 tahun. Mulai dari raja Faishal, Raja Khalid dan paruh permata pemerintahan raja Fahd hingga perang teluk kedua tahun 1990-1991. 

Fase ketiga adalah fase setelah perang teluk, ketika Ikhwan mengkritik Kerajaan karena meminta bantuan Amerika untuk menghajar Saddam Husein yang menyerang Kuwait. Perang Afganistan yang telah usai membuat peran Ikhwan di Saudi ditinjau kembali. Termasuk kembalinya eks Mujahidin Arab dari Afghan. Lalu memburuk pasca Arab spring dan kemudian menjadi permusuhan terang-terangan era Raja Salman dan Putra Mahkota MBS.

Memframing Saudi dengan semua keburukannya tentu tidak adil. Walau bagaimanapun juga Saudi banyak jasanya dengan mendirikan mesjid-mesjid di banyak negara Islam, memberikan full beasiswa kepada para pemuda Islam, ada begitu banyak riyal yang digelontorkan Saudi di dunia Islam walaupun hal tersebut di anggap hanya dalam rangka penyebaran ideologi wahabisme di negara-negara Sunni yang mayoritas bermazhab Asy'ari dalam akidah.

Maka, sebagai orang yang pernah menikmati pundi-pundi riyal dari KSA, sebelum kita menyerang kembali intrik-intrik dan sikap menjijikkan Saudi di kawasan,  marilah sama-sama kita mengheningkan cipta dan berkata: Daama 'Izzuka Ya Wathan.

 #دام_عزك_يا_وطن

 Bagian 1
Sebagaimana diketahui, kerajaan Saudi modern lahir atas dasar koalisi antara Bani Sa'ud dan Alu As-Syaikh (keturunan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri gerakan wahabisme). Selain itu, pasukan Raja Abdul Aziz juga didukung oleh tentara kabilah-kabilah badui Nejd yang dikenal dengan GERAKAN IKHWAN BADUI (saya menambah kata Badui untuk membedakannya dengan organisasi IM Mesir. 

Syeikh Hafiz Wahbah (diplomat dan penasehat Raja Abdul Aziz dari Mesir) menuturkan dalam kitabnya 'Al-Jazirah Al-Arabiyah Fi Al-Qarn Al-'isyrin' (Cet Lajnah At-Ta'lif Wa at-Tarjamah Wa  An-Nasyr, tahun 1935 hal: 33-34) bahwa tahun 1927, King Abdul Aziz berencana untuk menarik air zamzam dengan pompa air modern yang akan di impor dari Mesir. Pada waktu itu, air zamzam masih diangkat secara manual dengan timba-timba dari kulit oleh orang-orang Badui yang memanfaatkan jasa timba dan angkut air zamzam sebagai mata pencaharian mereka. Pipa-pipa mulai dipasang. Para Badui Nejd menyadari bahwa proyek pompa air modern ini akan menutup mata pencaharian mereka. Karenanya, mereka menghasut orang Nejd yang ada di Mekkah untuk menentang proyek tersebut. Alasannya adalah bahwa proyek tersebut akan mendatangkan bala terhadap umat Islam. King Abdul Aziz yang butuh pada pasukan Badui yang loyal pada waktu itu tidak punya pilihan lain kecuali menghentikan proyek tersebut. 

Sikap jumud kaum Badui Nejd terhadap hal-hal baru menyadarkan King Abdul Aziz bahwa proyeknya untuk memodernisasi Kerajaan Arab Saudi yang baru seumur jagung menghadapi penentangan dari loyalisnya sendiri. Selain itu, para ulama Wahabi yang Ultra Konservatif juga memfatwakan haramnya telegram. Karena hal tersebut akan mendatangkan bala dan membuat Kerajaan dikuasai Inggris. Tak hanya itu, Lembaga Amar ma'ruf nahi mungkar yang didirikan tahun 1940 juga mengharamkan sepeda dan menjulukinya dengan 'Hishon Iblis' atau kuda Iblis. Menurut keyakinan wahabiah konservatif, sepeda berjalan karena adanya konspirasi iblis. Meraka juga mengharamkan anak-anak perempuan untuk sekolah. Fatwa haram terhadap hal-hal modern terjadi juga pada televisi (kemudian sedikit demi sedikit mulai melembek dan diralat, perempuan juga mulai dibolehkan menonton televisi dengan syarat mereka tetap menutup wajah mereka agar tak dilihat oleh penyiar berita laki-laki), photography haram secara mutlak (kecuali photo para raja. Dikemudian hari semakin melembek dan dibolehkan dalam kondisi darurat) dan radio diharamkan (karena termasuk meniru ciptaan Allah berupa suara) serta hal-hal lainnya yang berbau modern.

Karena hal inilah, King Abdul Aziz 'mengimpor' banyak ulama dan cendekiawan muslim dari Mesir (seperti Hafiz Wahbah dll), Suriah (seperti sejarawan Khairuddin Az-Zirikly dll), Irak (Rasyid Ali Al-Kailany dll), Lebanon (Fuad Hamzah dll), Palestina ( Rusydi Malhas dll) untuk berkontribusi dalam membangun Saudi baru. Yang dipanggil tentu saja mereka yang sedikit banyaknya dekat dengan ideologi wahabisme atau minimal tidak menentang frontal wahabisme. Para sejarawan menamakan mereka dengan Salafiyah Ishlahiyah (salafi reformis yang moderat) untuk membedakannya dengan Wahabi Saudi yang ultra Konservatif. 

Selain mengundang mereka ke Saudi, King Abdul Aziz juga menjalin hubungan baik dengan tokoh-tokoh Salafiyah Ishlahiyah di Mesir seperti Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib dll. Meski bermanhaj salafi, mereka tidak menolak modernisasi. Hubungan mereka  dengan Syeikh Muhammad Abduh yang cenderung rasional bisa menjelaskan arah pemikiran mereka. Merekalah yang awalnya berjasa mencetak manuskrip-manuskrip kitab para ulama Salafi seperti Ibnu Taimiyah cs. 

Hasan Al-Banna sendiri menceritakan dalam kitabnya 'Mudzakkirah Ad-Dakwah Wa Ad-Da'iyah' (Cet Dar Ad-Dakwah 2011 hal: 70) bahwa pada tahun 1928 Syeikh Hafiz Wahbah (Penasehat Raja Abdul Aziz) meminta kepada Jam'iyah Syubbanul Muslimin (salah satu pendirinya adalah Syeikhul Azhar Syeikh Muhammad Khidir Husein At-Tunisy) agar mengirimkan tenaga pengajar ke Saudi. Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib (Paman Syeikh Ali At-Thantawi) kemudian merekomendasikan Hasan Al-Banna (yang waktu itu merupakan salah satu tokoh muda Jam'iyah) untuk ke Saudi. Namun, persyaratan yang disyaratkan Al-Banna ke Syeikh Hafiz Wahbah dan birokrasi Mesir dan Saudi yang rumit waktu itu membuat rencana itu batal. (Mesir saat itu belum mengakui kerajaan Saudi). 

Dari penjelasan diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sejak awal berdirinya, KSA lah yang membutuhkan para ulama dan da'i reformis untuk diajak membangun Saudi mengingat bahwa Wahabiyah Konservatif sulit menerima hal-hal baru dan modern. 

BAGIAN 2
Siapa Hasan Al-Banna? Siapa saja yang mempengaruhinya? Jawaban dari pertanyaan ini akan menuntun kita untuk mengetahui sejauh mana Ikhwan nantinya bisa berjalan beriringan bersama Wahabisme atau malah berbenturan. Tidak mudah memang mendeskripsikan siapa Hasan Al-Banna. Namun, kita bisa meraba-raba kemana arah pemikirannya dengan melihat kepada dan dengan siapa ia pernah berguru dan berinteraksi serta kitab-kitab apa saja yang ia baca dan mempengaruhinya. 

Syeikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna As-Sa'aty (ayah Al-Banna) adalah salah satu ulama yang paling berpengaruh terhadap Al-Banna, terutama dalam ilmu hadis. Beliau menyusun kitab 'Al-Fath Ar-Rabbani Li At-Tartib Musnad Imam Ahmad Ibn Hanbal As-Syaibani dalam 22 jilid (1). Beliau menyusun Musnad Imam Ahmad berdasarkan urutan yang detail, dimulai dengan tauhid, fiqih, tafsir, targhib dan tarhib, tarikh, kiamat dan ahwal al-akhirah. Beliau mengklaim: "Saya tidak mengetahui ada orang lain yang pernah mendahului saya dalam penyusunan seperti ini". 

Hasan Al-Banna juga dekat dengan Al-Hafiz Al-Maghribi As-Sayyid Ahmad Al-Ghumari dan adiknya Sayyid Abdullah Al-Ghumari. Tahun 1937, Ikhwan berusaha mendirikan 2 cabangnya di kota Fes (melalui Syeikh Allal Al-Fassi) dan Tangier (melalui Al-Hafid Ahmad Al-Ghumari) Maroko. Namun rencana ini digagalkan oleh penjajah Perancis saat itu(2). Kedekatan ini diakui sendiri oleh Sayyid Abdullah, beliau berkata: "Adapun Syeikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna dan anaknya Hasan Al-Banna ketua Jamaah Ikhwanul Muslimin keduanya adalah sahabatku. Beliau telah melakukan khidmah besar terhadap kitab-kitab hadis. Beliau menyusun Musnad Imam Ahmad menurut bab-bab fiqih, Musnad Imam Syafi'i dan Musnad Abi Daud At-Thayalisy. Semuanya adalah jasa besar terhadap ahli hadis. Akan tetapi 'beliau bukanlah seorang Muhaddis' rahimahullah (3).

Qultu: saya berharap pembaca yang budiman tidak 'tertipu' dengan perkataan Sayyid Abdullah bahwa Syeikh Ahmad Abdurrahman bukan Muhaddis. Jangankan Syeikh Ahmad Abdurrahman, Sayyid Abdullah dan kakaknya menganggap bahwa Muhaddis Syam Syeikh Badruddin Al-Hasani dan Wakil Masyaikhah Utsmaniyah Syeikh Muhammad Zahid Al-Kautsai juga tidak mengetahui hadis(4). Kedekatan Sayyid Abdullah Al-Ghumari dengan Hasan Al-Banna membuatnya dipenjara oleh diktator Mesir Gamal Abdul Nasir selama 11 tahun karena dituduh sebagai anggota Ikhwan(5). 

Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib dan Muhammad Khidir Husein At-Tunisy (Greind Syeikh Al-Azhar) termasuk yang paling berpengaruh terhadap Hasan Al-Banna. Al-Banna berkata: "...kami sering mengunjungi Perpustakaan As-Salafiyah (Maktabah Salafiyah dan percetakannya didirikan oleh Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib) dimana kami bertemu dengan Al-Mujahid Al-'Amil Al-'Alim Al-Fadhil Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib dan bertemu dengan para ulama terkenal seperti Al-Ustad Al-Kabir Sayyid Muhammad Khidir Husein dan lain-lain....... sebagaimana kami sering mengunjungi Darul Ulum dan menghadiri majelis Sayyid Muhammad Rasyid Ridha(6). 

Kedekatan Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib dengan Syeikh Khidir Husein dikemudian hari (ketika Syeikh Khidir Husein diangkat menjadi Greind Syeikh Al-Azhar) membawa Sayyid Muhibbuddin mengetuai redaksi majalah Al-Azhar sebagai tokoh salafiyah Islahiyah (Wahabiyah menurut ungkapan Syeikh Ali Jum'at) pertama yang memimpin majalah tersebut (ada alm Dr. Muhammad Imarah setelahnya). 

Kedekatan pemikiran Al-Banna dan Rasyid Ridha juga terlihat ketika keluarga Rasyid Ridha meminta Hasan Al-Banna untuk menerbitkan kembali majalah Al-Manar setelah vakum beberapa tahun karena meninggalnya Sayyid Rasyid Ridha(7). Hasan Al-Banna kemudian menerbitkan kembali majalah Al-Manar selama lima edisi sebelum berhenti dikarenakan (salah satu sebabnya) oleh kritik dari pembaca Al-Manar terhadap sikap Hasan Al-Banna yang terlalu lunak dalam masalah Asma Wa As-Shifat(8).

Sebagaimana diketahui, Sayyid Rasyid Ridha cenderung keras dalam berpegang kepada manhaj salaf dan menegasikan Khalaf, hal yang kurang disetujui Hasan Al-Banna dimana Al-Banna menolak untuk menyesatkan pemahaman Khalaf dalam masalah Asma wa As-Shifat meskipun ia sendiri lebih memilih manhaj salaf. Karenanya, tidak mengherankan jika sebagian tokoh Ikhwan setelah Al-Banna mentakwilkan ayat-ayat shifat seperti yang dilakukan Sayyid Qutub dalam tafsirnya(9). Dan tidak mengherankan juga jika Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta mengunakan kitab 'Risalah Al-Aqaid' Hasan Al-Banna dalam kurikulumnya(10). 

Penting juga disebutkan bahwa Hasan Al-Banna juga terpengaruh dengan gurunya Syeikh Abdul Wahab Hashafy (Syeikh Tarikat Hashafiyah) di Damanhur. Sebagaimana beliau sering mengutip dan mensyarah kitab Ihya Ulumuddin karya Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali dalam pengajian mingguan 'Hadis As-Tsulasa'nya(11). 

Interaksi Al-Banna dengan berbagai kalangan melahirkan sebuah harmoni dalam kepribadiannya. Ada rasionalitas Al-Afghani dan Abduh dalam dirinya, ada salafiyah Rasyid Ridha dan Al-Khatib dan kejernihan tasawwuf dari Syeikh Al-Hashafy. Ditambah perbendaharaan hadis dari sang ayah, Rasyid Ridha dan Al-Ghumari bersaudara. 

Pribadi Al-Banna yang menarik membuat ia menjadi magnet bagi para intelektual di Mesir waktu itu, dakwahnya disambut oleh berbagai kalangan, oleh para ahli fiqih seperti Sayyid Sabiq dan Syeikh Al-Baquri (Menteri urusan waqaf), oleh mereka yang cenderung ke hadis seperti Syeikh Abu Ghuddah, atau bahkan yang cenderung ke tasawwuf seperti Syeikh Muhammad Al-Hamid Al-Hamawi. Adapun Dr. Musthafa As-Siba'i, maka ia adalah sisi mata uang yang lain dari pribadi Al-Banna. 

**
Manhaj Ikhwan yang lentur memudahkan mereka untuk beradaptasi dengan salafiyah konservatif di Saudi dan bahkan memberikan corak warna baru terhadap Ikhwan yang kemudian sedikit lebih condong ke Salafiyah setelah era 60an dan keluarnya sebagian ulama-ulama lulusan Al-Azhar dari jama'ah. Kedekatan tokoh-tokoh Ikhwan dengan madrasah Asya'irah/Maturidiyah juga mengakibatkan sebagian mereka 'dipersekusi' di Saudi. Sebagaimana yang dialami Sayyid Qutub ketika 'dihujat' oleh Rabi' Bin Hadi Al-Madkhali, atau seperti Abu Ghuddah yang 'diteror' oleh Syeikh Albani hingga beliau menulis bantahannya: 'Kalimat Fi Kasy Abathil Wa Iftiraat'. Kedekatan Syeikh Abu Ghuddah dengan Syeikh Zahid Al-Kautsari yang anti Wahabi juga membuatnya 'dipersekusi' oleh Syeikh Bakr Zaid dan Syeikh Bin Baz untuk berlepas diri dari Syeikh Al-Kautsari, hal yang tak mungkin dilakukan Syeikh Abu Ghuddah rahimahumullah. 

Footnote: 
1. Min A'lam Ad-Dakwah Wa Al-Harakah Al-Islamiyah Al-Mu'ashirah: Syeikh Al-Muhaddis Ahmad Abdurrahman Al-Banna As-Sa'aty, Majalah Al-Mujtama' Kuwait 20 Des 2008
2.http://www.ressali.com/news/289?language=arabic
3. Sabil At-Taufiq Fi Tarjamati Abdillah Ibn As-Shiddiq Al-Ghumari, Al-Hafiz Abdullah Al-Ghumari, Hal:39, Cetakan Ke Tiga Maktabah Al-Qahirah tahun 2012. 
4. Idem, hal: 38. 
5. Idem, Hal: 68
6. Mudzakkirah Ad-Dakwah wa Ad-Da'iyah, Hasan Al-Banna, Hal: 45 Cet. 1, Dar Ad-Dakwah tahun 2012
7. Awraq Min Tarikh Al-Ikhwan, Jum'ah Amin,  Juz 1, Hal:182 Cet 1 Dar At-Tauzi' Wa An-Nasyr tahun 2003.
8. Nazharat Fi Risalah At-Ta'lim, M Abdullah Al-Khatib & M Abdul Halim Hamid, Hal: 290, Dar At-Tauzi' wa An-Nasyr tahun 1995.
9. Fi Zilal Al-Quran, Sayyid Qutub, hal:462, Juz 13, Cet 7, Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, tahun 1971, Beirut. 
10. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, Mahmud Yunus, Hal: 285, Penerbit: Hidakarya Agung Jakarta,1983. 
11. Ila Al-Muwajaha; Zikrayat Dr. Adnan Mas'udi An Ikhwan Al-muslimin. Hal: 48, Cet Markaz Az-Zaitunah Beirut tahun 2013.


BAGIAN 3
*ANTARA KEKAGUMAN DAN KETAKUTAN*

Kerajaan Saudi Arabia dan Raja Abdul Aziz adalah termasuk sosok yang dikagumi Al-Banna dan Ikhwan. Dalam Majmu' Rasailnya, Hasan Al-Banna berkata: "Siapa yang menyangka bahwa Abdul Aziz Alu Sa'ud yang keluarganya dibuang, anak istrinya diceraiberaikan dan kerajaannya dirampas mampu mengembalikan kerajaan tersebut dengan (modal awalnya) hanya beberapa puluh orang. Lalu menjadi harapan dunia Islam untuk mengembalikan kejayaannya serta menghidupkan lagi persatuannya"(1).

Salah satu tokoh Ikhwan As-Syahid Ustad Abdul Qadir Audah menjelaskan dengan bangga implementasi syariat Islam di Saudi. Beliau berkata: "Implementasi (syariat Islam) umum telah mulai dipraktekkan di Kerajaan Hijaz (maksudnya adalah kerajaan Arab Saudi) sejak lebih kurang dua puluh tahun dimana syariat Islam diterapkan secara menyeluruh. Penerapan tersebut berjalan sukses dan layak diperhatikan untuk menghentikan kriminalitas, menjaga keamanan dan sistem pemerintahan. Masih belum lekang dari ingatan orang-orang bagaimana sebelumnya kondisi keamanan sangat rentan di Hijaz, bahkan Hijaz menjadi contoh perumpamaan dalam banyaknya angka kriminalitas dan parahnya kriminalitas tersebut"(2). 

Karenanya, dalam musim haji tahun 1936 dan bertemu dengan Raja Abdul Aziz, Hasan Al-Banna meminta izin kepada Sang Raja untuk mendirikan cabang Ikhwan di Saudi. Hal yang ditolak dengan cerdas dan diplomatis oleh King Abdul Aziz dengan berkata: "Kita semua adalah Ikhwanul Muslimin"(3). Meskipun izin mendirikan cabang Ikhwan di Saudi ditolak, hubungan Ikhwan dan Saudi tetap berlangsung baik. Maka, ketika tahun 1945 King Abdul Aziz mengunjungi Mesir, ia disambut oleh pawai dan yel-yel dari anggota Ikhwan di Bandara Kairo. 

Hubungan Saudi dan Ikhwan mulai renggang February tahun 1948, tepatnya ketika Ikhwan mendukung revolusi undang-undang di Yaman untuk mengakhiri kezaliman kekuasaan para Imam Syi'ah Zaidiyah. Menurut sejarawan Ikhwan Ustad Mahmud Abdul Halim, ide dan persiapan revolusi tumbuh pertama kali di Markas Umum Ikhwan melalui para pelajar Yaman yang belajar di universitas Al-Azhar dan lain-lain(4). Sebagaimana telah diketahui dan telah dijelaskan di tulisan-tulisan sebelumnya, Raja Abdul Aziz justru menentang revolusi dan mendukung revolusi tandingan yang dilancarkan oleh tokoh Syi'ah Zaidiyah Ahmad Bin Yahya (putra Imam Yahya yang terbunuh dalam revolusi). 

Dukungan Saudi terhadap revolusi tandingan memunculkan kemarahan Ikhwan. Sekalipun revolusi undang-undang di Yaman gagal, disinyalir Raja Abdul Aziz mulai melihat Ikhwan sebagai ancaman yang berpotensi menjatuhkan kapan saja sebuah sistem pemerintahan termasuk pemerintahan monarki absolut keluarganya yang baru berumur dua dekade. Hal yang sama juga dirasakan oleh Raja Faruq di Mesir. Belum lagi, ditahun yang sama Ikhwan mengirimkan ribuan sukarelawan mujahidinnya dari berbagai negara Arab untuk berjihad di Palestina dalam perang Arab-israel yang dimulai bulan Maret 1948. 

Karenanya, dimusim haji tahun tersebut Hasan Al-Banna berangkat menunaikan ibadah haji dengan melewati birokrasi yang rumit serta  KSA melarang Al-Banna agar tidak berbicara politik selama di Saudi. Menurut Abduh Dasuqi dalam makalahnya, Konspirasi pembunuhan terhadap Al-Banna sudah dimulai ketika Al-Banna berada di Bandara Kairo 23 September 1948. Petugas paspor bandara mengambil paspor Al-Banna dan mencoret semua negara yang bisa dimasuki oleh Al-Banna kecuali Saudi. Larangan bepergian Al-Banna ke negara-negara lain selain Saudi berdasarkan perintah langsung kepala dinas khusus(5). 

Ketika para Mujahidin Ikhwan sedang berjihad di Palestina, Hasan Al-Banna menuju pekuburan Baqi' dan berdoa agar dikaruniai mati syahid. 23 November 1948 Al-Banna pulang ke Mesir. Konspirasi internasional dimulai. Seluruh Mujahidin Ikhwan di front Palestina diminta untuk menarik diri dan mundur dari kancah peperangan. Senjata mereka dilucuti kemudian para Mujahidin tersebut dijebloskan ke penjara-penjara Mesir dan lainnya. Tanggal 2 atau 8 Desember 1948 Ikhwanul Muslimin secara resmi dibubarkan, semua harta benda jama'ah disita negara, semua anggotanya dijebloskan ke penjara kecuali Al-Banna. 12 February 1949 mobil yang  dikendarai Hasan Al-Banna diberondong dengan peluru tajam. Dengan bersimbah darah, ia menuju rumah sakit. Namun tak seorang dokterpun berani melawan perintah 'negara' yang melarang mengobati Al-Banna. Ia syahid dengan tubuh bersimbah darah setelah 4 jam melawan kematian. 

Tengah malam, Syeikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna diberitahukan kematian anaknya. Pemerintah akan menyerahkan jasad jika Syeikh Ahmad berjanji untuk menguburi Al-Banna tanpa memberitahukan kesiapapun. Jasad Al-Banna kemudian dibawa pulang kerumahnya dengan pengawasan polisi. Setelah selesai dikafani, Syeikh Ahmad meminta kepada polisi agar mengizinkan beberapa orang laki-laki untuk memikul jasad anaknya. Namun ditolak dan jasad itu kemudian dipikul sang ayah dengan beberapa anggota keluarga perempuan dan dikuburkan di pagi hari. 

Footnote:

1. Majmu'ah Ar-Rasail, Hasan Al-Banna, Hal:58, Cet. Dar Ad-Dakwah, tahun 1998. 
2. At-Tasyri' Al-Jina'i Al-Islami, Abdul Qadir Audah, Hal:712-713, Juz 1, Cet, Dar Al-Kutub Al-Arabi, Beirut. 
3. Liqa Bab Al-Maftuh, Ibnu Utsaimin, No 45. 
4. Al-Ikhwan Al-muslimun Ahdats Shana'a At-Tarikh, Mahmud Abdul Halim, Hal:402. Cetakan ke 5, Dar Ad-Dakwah, tahun 1994.
5. Fi Rihab Al-Hajj, Imam Al-Banna Wa Bi'tsaat Al-Hajj Li Al-Ikhwan Al-muslimin, Abduh Dasuqi. www.daawa-info.net.

BAGIAN4

          *SEJENAK BERSAMA SANG MUFTI*
             (SYEIKH HASANAIN MAKLUF)

Setelah meninggalnya Hasan Al-Banna, Al-Qadhi Al-Ustad Hasan Al-Hudhaiby kemudian dipilih menjadi Mursyid 'Am. Tahun 1951 ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Qadhi untuk fokus memimpin jama'ah. Juli 1952, para perwira militer (dan Ikhwan dibelakangnya) melakukan revolusi juli menggulingkan kekuasaan Raja Faruq. Setelahnya Rais Muhammad Naguib dipilih menjadi Perdana Menteri Mesir sebelum akhirnya tahun 1954 Gamal Abdul Nasir berbalik memenjarakan Muhammad Naguib dan memberangus Ikhwan.

***

Konflik Ikhwan dan Abdun Nasir menyebabkan ribuan anggota Ikhwan kembali menuju jerusi besi, tak terkecuali Hasan Al-Hudhaibi. Sebagian lain lari keluar negeri atau bersembunyi. Diantara mereka yang bersembunyi dari kejaran Abdun Nasir adalah Muhammad As-Shawabi Ad-Dieb, mahasiswa fakultas syari'ah Al-Azhar Syarif, sukarelawan mujahidin Ikhwan dalam perang Suez melawan Inggris dan perang Arab-Israel tahun 1948. Muhammad As-Shawabi juga memberikan pelatihan militer untuk mahasiswa Al-Azhar di Camp Univ Al-Azhar. 

Muhammad As-Shawabi tetap dalam persembunyiannya sampai September 1954 hingga pada suatu hari jam tiga siang ia mengetuk pintu Al-'Allamah Syeikh Hasanain Muhammad Makhluf (Mufti Ad-Diyar Al-Mishriyah) yang terletak di Jln. Naguib Pasya Kubri Qubba Cairo. 

Ketika pembantu rumah membukakan pintu, ia kembali masuk dan memberitahukan kepada Syeikh bahwa ada seorang pemuda dengan jenggot tebal dan pakaian lusuh ingin bertemu dengan Syeikh. Syeikh Hasanain bercerita: Aku heran dengan pemuda tersebut. Dugaanku, ia adalah pengelana. Ia kemudian masuk rumah dan aku pada awalnya tidak menemuinya. Akan tetapi pembantu menyiapkan makanan dan aku melihatnya makan dengan lahap seakan-akan dia belum makan sejak lama. Selesai makan, kupikir ia akan pergi namun ia tetap bersikeras ingin menemuiku. Akupun menemuinya dan menduga ia akan meminta sedekah. Lusuh pakainnya menjelaskan seberapa lelahnya ia. Kemudian ia memperkenalkan dirinya bahwa ia adalah Muhammad As-Shawabi Ad-Dieb mahasiswa fakultas syari'ah Universitas Al-Azhar. Badanku kemudian bergetar dan berkeringat ketika dia berkata bahwa ia adalah sukarelawan mujahidin Ikhwanul muslimin dalam perang Palestina dan Perang Terusan Suez.

Tahun itu, Ikhwan sedang dalam puncak cobaannya. Hingga kalimat 'Ikhwan' identik dengan penangkapan, penjara, penyiksaan dan persidangan. 

Pemuda itu menatapku dengan tenang. Lalu ia berkata dengan suara yang rendah tapi jelas: Saya sedang berada dalam musibah dan membutuhkan anda. Saya masuk dalam daftar orang yang dicari untuk ditangkap. Saya telah lebih sebulan bersembunyi di pekuburan-pekuburan disiang hari dan keluar malam hari mengais sisa-sisa makanan. Saya benci hidup ditengah-tengah orang mati dan sekarang ingin hidup bersama orang-orang hidup. Apakah anda akan menerimaku?

Aku sepenuhnya bingung dan baru 'siuman' setelah dia mendesakku: Bagaimana pendapat anda wahai Syeikh?

Aku kemudian meminta izin sebentar dan menemui anak-anakku; Dr. Ali dan putriku Zainab dalam kebingunganku. Anak-anakku kemudian melihat kebingunganku dan bertanya: Kenapa Ayah? Ada apa?

Aku memberitahukan mereka kisahnya. Lalu aku bergumam sendiri: pemuda ini benar, pemuda ini jujur, dia jujur. 

Aku berkata pada anak-anakku: Aku yakin bahwa pemuda itu bukan polisi dan Intel yang datang untuk menguji kita. Aku yakin dia jujur dan apa yang dia ceritakan adalah benar. 

Aku kemudian berkata: Sesungguhnya aku tidak mampu menolak permintaan seseorang dalam cobaan seperti ini. Aku yakin dia dizalimi. Aku telah memutuskan untuk menerimanya. Namun, yang aku takutkan adalah apa yang nanti akan dilakukan intelijen negara jika suatu hari mereka mampu menyingkap bahwa dia disini. Pada waktu itu, ada undang-undang yang menegaskan bahwa siapapun yang melindungi setiap anggota Ikhwan akan disanksi dengan hukuman penjara dan kerja paksa selama 15 tahun. 

Lalu putraku Ali berkata setelah lama diam: Ayah, lakukanlah apa yang menurutmu sesuai dengan sisi keislaman. Insya Allah Allah akan menjadi penolong kita. 

Akupun keluar keruang tamu bersama anakku Ali dan memperkenalkannya dengan Muhammad As-Shawabi. Kami katakan bahwa kami memutuskan untuk menerimanya dan hal itu adalah sebuah kemuliaan bagi kami. Aku melihat raut wajah teduh dan tenang dimukanya. Sampai saat ini, aku masih melihat cahaya senyuman itu. 

Dr. Ali Hasanain dokter penyakit perempuan dan melahirkan kemudian menjelaskan bahwa Muhammad As-Shawabi harus menjadi pribadi lain dan menguburkan Muhammad As-Shawabi lama. Dikarenakan wilayah tempat tinggal mereka salah wilayah tempat tinggal banyak perwira polisi. Solusi satu-satunya adalah dengan 'melahirkan' individu baru yang 100% berbeda dengan As-Shawabi. Karena melarikan diri adalah usaha yang terbukti gagal dekat atau lambat. 

Kemudian kami sepakat untuk menjadikannya sekretaris Mufti dan kebetulan waktu itu Syeikh Hasanain membutuhkan seorang sekretaris dikarenakan banyaknya pertanyaan yang datang meminta fatwa disamping kesibukannya menulis kitab. Kemudian kami mencari nama yang cocok untuknya. Syeikh Hasanain berkata: Engkau jujur dalam setiap tingkah laku dan kata-katamu. Maka mulai hari ini namamu adalah Shodiq (jujur) Afandi. Kamipun tertawa bersama. 

Besoknya, Muhammad As-Shawabi tampil necis dengan jenggot tercukur, kulitnya yang putih bersih, mata lebar, tinggi sedang dan kurus. 

Syeikh Hasanain Makhluf berkata: Taktik penyamaran untuk menyembunyikan Muhammad As-Shawabi sukses sempurna. Kami memberitahukan kepada penghuni rumah bahwa ada sekretaris baru telah datang. Namanya Shadiq Afandi. Tak ada yang mengetahui rahasia itu kecuali 4 orang. Aku(Syeikh Hasanain), Ali, Zainab dan istri putraku Su'ad Al-Hudhaibi (Puteri Hasan Al-Hudhaiby Mursyid kedua Ikhwan) yang tanpa ragu-ragu menerima As-Shawabi betapapun Ayah dan saudara-saudaranya semuanya dalam penjara. 

Syeikh Hasanain Makhluf melanjutkan: Muhammad As-Shawabi atau Shadiq Afandi kemudian benar-benar menjadi sekretaris yang luar biasa. Dia banyak membantu pekerjaanku terutama dalam mentahqiq kitab-kitab turats. Dia membersamaiku kemanapun aku pergi. Aku sudah menganggapnya sekretaris pribadiku. 

Selama 8 bulan, Shadiq Afandi hidup bersama keluarga Syeikh Hasanain Makhluf seperti halnya salah satu anggota keluarganya. Ia makan dan hidup bersama mereka. Dimana Syeikh Hasanain sebagai Mufti Mesir waktu itu sering meminta bantuan Shadiq Afandi untuk menjawab fatwa-fatwa yang dilayangkan padanya. Shadiq Afandi tinggal di sebuah bangunan terpisah di taman dimana terdapat salon, perpustakaan besar, kamar tidur dan kamar mandi khusus yang memang sengaja disediakan untuknya. 

Syeikh Hasanain Makhluf bercerita: Pada suatu hari ditahun 1955 seingatku. Shadiq Afandi mendatangiku dan menyatakan keinginannya untuk safar ke Arab Saudi dan bekerja disana. Aku berusaha mencegahnya. Akan tetapi ia tetap ngotot dan memberitaku bahwa ia punya kenalan yang telah menyiapkan perjalanan laut dari Suez ke Jeddah. 

Hatiku menjadi tak tenang, aku meminta anakku Dr. Ali untuk mencegahnya agar tidak pergi namun tanpa hasil. Muhammad As-Shawabi mengatakan bahwa ia ingin menjadikan Saudi sebagai tempat pengasingannya dan terbebas dari kecemasan sebagai seorang pelarian yang dicari polisi. Kamipun terpaksa mengucapkan selamat tinggal kepadanya setelah ia berjanji akan mengirimkan telegram begitu ia sampai di Saudi. Akupun mengirimkan telegram kepada Muhammad Surur As-Shabban penasehat Raja Sa'ud bin Abdul Aziz  untuk menyediakan baginya pekerjaan begitu ia sampai Saudi. Lebih dari sebulan berlalu dan tak satu telegrampun sampai darinya kepadaku. 

Semua anggota keluarga gelisah. Sebagai orang  yang paling tenang, akupun berusaha untuk menenangkan mereka namun nihil. Ketenangankupun sirna ketika istri anakku Dr. Su'ad Al-Hudhaibi menceritakan bahwa ia mendengar dari radio London berita tertangkapnya dua orang buronan Ikhwan dalam kapal Suez yang menuju Jeddah. Radio itu tidak menyebutkan nama keduanya. Akan tetapi kami merasa bahwa Muhammad As-Shawabi adalah salah satunya. 

**

Wahbi Al-Fisyawi yang bekerja di percetakan Mesir menceritakan: Muhammad As-Shawabi dipenjara bersama kami dalam penjara no 4 penjara perang/militer. Kami mengetahui bahwa ia ditangkap dengan perantaraan seorang Iraq yang menjadi Zabaniah tukang siksa penjara militer. Para sipir penjara menyiksanya dengan sadis dan meletakkannya dalam penjara yang dikhususkan untuk menyiksa dengan siksaan-siksaan paling sadis dan kejam. Mereka tidak memberikannya kesempatan untuk memejamkan matanya. 

** 

Dr. Su'ad Al-Hudhaibi, Puteri Mursyid Am Ikhwan Al-Ustad Hasan Al-Hudhaibi menceritakan: suatu hari, aku pergi ke penjara untuk menyerahkan beberapa kebutuhan kepada ayahku. Saat sedang keluar dari kantor kepala penjara Hamzah Al-Basyuni aku melihat Muhammad As-Shawabi sedang diphoto untuk pembuatan kartu tahanan. Aku hampir menjerit dan kemudian bergegas pulang dan menyampaikan kepada suamiku apa yang kulihat. Suamiku terperanjat dan bergegas menyiapkan kopernya untuk persiapan menuju penjara. Kami yakin kapan saja polisi dan Intel akan menjemput dan menangkap kami. 

**
Dr. Ali Hasanain berkata: Aku takut terhadap ayahku mengingat umurnya telah lebih dari 60 tahun. Dia pasti tak akan sanggup menahan penyiksaan penjara militer. Karenanya, aku dan istriku selalu membersamainya siang malam menunggu kapan polisi akan menggerebek rumah kami. 

**
Dr. Su'ad Al-Hudhaibi berkata: Kami semua heran karena setelah beberapa hari berlalu tak ada polisi yang menggerebek rumah sebagaimana dugaan kami. Pada suatu hari, aku mengunjungi penjara militer untuk menziarahi ayahku. Aku tanyakan padanya keadaan Muhammad As-Shawabi karena dia pasti mengenalnya sebagai anggota Ikhwan. Terlebih asal kami berdekatan di Qalyubia. Ayahku menggelengkan kepalanya yang menunjukkan putusnya harapan. Dia memberitahuku bahwa As-Shawabi telah syahid. Ia (Hasan Al-Hudhaiby) melanjutkan: Aku heran dengan para sipir penjara yang hanya menanyakan kepadanya dengan satu pertanyaan "inta kunta fein?" Dimana kau selama ini?. As-Shawabi hanya menjawabnya dengan membaca ayat-ayat Al-Qur'an Al-karim. Hingga mereka mematahkan tulang belakangnya dan tulang rusuknya terlihat. Para perawat penjara keluar dari ruang penyiksaannya sementara nampan ditangan mereka penuh dengan darah. 

**

Syeikh Hasanain berkata: Aku samasekali tak pernah menyangka bahwa As-Syahid Muhammad As-Shawabi akan mampu menahan penyiksaan yang tak terbayangkan itu demiku. Aku tak menduga bahwa ia mampu mengorbankan hidupnya demiku. Sungguh ini adalah tarbiyah Islam yang benar. 

**

Wahbi Al-Fisyawi berkata: Sebagian Ikhwah di penjara yang bertugas membagikan makan kepada kami mengabarkan bahwa luka yang diderita Muhammad As-Shawabi terlalu parah. Kondisinya amat buruk hingga serangga (ulat) terlihat berjalan-jalan diantara lukanya. Ia menolak makan karena air minum tidak diberikan kepadanya. Selang beberapa waktu, semua lampu penjara dimatikan dan dari celah jeruji besi aku mengintip para sipir penjara memikul bungkusan selimut dan memasukkannya dalam sebuah mobil Jeep. Aku merasa bahwa itu adalah Muhammad As-Shawabi dan aku berkata dalam diriku: istirahatlah dengan tenang menuju surga insya Allah. 

**

Syeikh Hasanain Muhammad Makhluf, sisa para salafus sholih mengakhiri ceritanya: 
إذا كانت تربية الشهيد من تربية الاخوان المسلمين فأنا أضم صوتي بقوة الى علماء الأزهر في المطالبة بعودة الاخوان المسلمين، فتربيتهم خير تربية.
"Jika tarbiyah As-Syahid adalah tarbiyah Ikhwanul Muslimin, maka aku ikut menyuarakan bersama para ulama Al-Azhar kembalinya Ikhwanul Muslimin. Karena tarbiyah mereka adalah sebaik-baik tarbiyah(1).

Footnote:

1. Min A'lam Ad-Dakwah Wa Al-Harakah Al-Islamiyah Al-Mu'ashirah, Al-Mustasyar Abdullah Aqeel Sulaiman Al-Aqeel, Hal: 566-573. Cet ke 3, Dar At-Tauzi' wa An-Nasyr tahun 2005.

BAGIAN 5
                          BORN A KING

Sejarawan Ikhwan; Ustadz Mahmud Abdul Halim menceritakan bahwa kepedulian Raja Faishal Bin Abdul Aziz terhadap permasalahan Palestina dan hubungan dekatnya dengan Ikhwan sudah terjadi jauh-jauh hari ketika ia masih menjabat sebagai menteri luar negeri. 
Tepatnya ketika tahun 1938 Pangeran Faishal menghadiri Konferensi Internasional pertama untuk Palestina di Markas Umum Ikhwan Kairo. 

"Para pemimpin dan tokoh-tokoh penting utusan-utusan negara Arab dan Islam mulai berdatangan ke Markas Umum Ikhwanul Muslimin. Diantara mereka yang hadir adalah Pangeran Faishal Bin Abdul Aziz Alu Sa'ud dan Pangeran Ahmad bin Yahya serta saudara-saudara keduanya. Mereka datang sebagai utusan dari ayah keduanya yaitu Raja Saudi dan Imam Yaman untuk bermusyawarah bersama pemerintah Mesir dan Ikhwan tentang langkah-langkah yang perlu diambil untuk menyelamatkan Palestina."(1)

Ketika Majelis Umum PBB yang berkedudukan di AS mengeluarkan resolusi pembagian wilayah Palestina untuk Yahudi dan Arab tahun 1947, Pangeran Faishal mendesak ayahnya untuk memutuskan hubungan diplomatik antara Saudi dan AS. Namun hal itu tidak disetujui oleh Raja Abdul Aziz. 

**

Tahun 1953, Ikhwan melalui Syeikh Amjad Az-Zahawi dan Syeikh Mahmud Muhammad As-Shawwaf (butuh tulisan khusus untuk menceritakan keduanya) memprakarsai berlangsungnya World Islamic Congres di Al-Quds yang dihadiri oleh banyak ulama dan tokoh Islam seperti Dr. Musthafa As-Siba'i, Sayyid Qutb, Sa'id Ramadhan (menantu Al-Banna dan ayah dari Dr.Thariq Ramadhan), Syeikh Allal Al-Fassi (Ketua Partai Kemerdekaan Maroko), Syeikh El-Ibrahimi (Ketua Jam'iyah Ulama Al-Jazair) dan lain-lain. Turut hadir juga Menteri Luar Negeri Indonesia Dr. Achmad Soebardjo.(2) (Ayahnya pada awalnya menamai beliau dengan Teuku Abdul Manaf, kemudian diganti oleh ibunya. Kebetulan ayah beliau adalah salah seorang Ulee Balang (bangsawan) di Lueng Putu -sekecamatan dengan penulis- Pidie, Aceh).

Ditahun yang sama, salah seorang tokoh Mujahidin Ikhwan dalam perang Palestina 1948 dan Perang Suez; Syeikh Manna' Khalil Al-Qatthan meninggalkan Mesir menuju Kerajaan Saudi Arabia untuk mengajar disana. Nantinya Syeikh Manna' Al-Qatthan akan menjadi tokoh penting Ikhwan di Saudi (selain Mahmud As-Shawwaf yang menjadi penasehat Raja Faishal) dimana beliau menjadi Rektor Post-graduate education di Imam Muhammad ibn Saud Islamic University Riyadh. 

***

Setelah meninggalnya sang ayah dan kekuasaan di serahkan kepada Raja Sa'ud Bin Abdul Aziz, Pangeran Faishal diangkat sebagai putra mahkota. Ia sangat peduli dengan isu Palestina dan dekat dengan Mufti Palestina waktu itu Al-'Allamah Al-Hajj Muhammad Amin Al-Husaini. Berdasarkan keputusan World Muslim Congres yang berlangsung di Mekkah 18 Mei 1962, Raja Faishal kemudian mendirikan Muslim World League (Liga Muslim Dunia) yang salah satu tujuan utamanya adalah memperjuangkan masalah Palestina. Tidak mengherankan jika anggota pendiri pertamanya (majlis Ta'sisi) didominasi oleh tokoh-tokoh Ikhwan dan gerakan Islam seperti 
Dr. Sa'id Ramadhan (menantu Al-Banna), Syeikh Mahmud As-Shawwaf, Syeikh Allal Al-Fassi, Syeikh Al-Basyir Al-Ibrahimi, Al-Hajj Amin Al-Husaini, Abu Al-A'la Al-Maududy, Abu Al-Hasan An-Nadawi, Syeikh Hasanain Makhluf dan lain-lain. 

Penting juga diketahui bahwa salah satu cabang Liga Muslim Dunia adalah lembaga fatwa independen Majma' Fiqih Islami yang seminggu lalu dibubarkan oleh rezim Bani Sa'ud akhir zaman. Setelah tahun-tahun sebelumnya anggota-anggota Liga Muslim Dunia yang dekat dengan Ikhwan dipecat seperti pemecatan Syeikh Al-Qaradhawi tahun 2017. Padahal Liga Muslim Dunia awalnya didirikan Raja Faishal untuk Ikhwan demi memperjuangkan isu Palestina. Namun, saat ini, Liga Muslim Dunia tak lebih dari sekedar alat Bani Sa'ud untuk melegitimasi intrik politiknya dikawasan. Kecaman Liga Muslim Dunia terhadap bantuan dan campur tangan Turki di Libya serta diamnya mereka terhadap campur tangan Saudi di Yaman adalah bukti konkritnya. 

Ditahun yang sama; 1963, kudeta militer yang dilakukan oleh Partai Sosialis Arab Ba'ats yang kemudian didominasi oleh sekte Syi'ah Nushairiyah memaksa tokoh-tokoh yang dekat dengan Ikhwan seperti Syeikh Ali At-Thantawi (mertua Muraqib 'Am IM Suriah yang kedua Ustad Isam Al-Attar) dan Dr. Ma'ruf Ad-Duwailibi (Anggota parlemen Suriah yang dicalonkan Ikhwan) untuk melarikan diri ke Arab Saudi. Dikemudian hari Dr. Ma'ruf Ad-Duwailibi juga diangkat menjadi penasehat Raja Faishal. 

Pada tahun 1964 sebagaimana kita ketahui, para ulama Saudi yang dipimpin oleh Mufti Saudi waktu itu Syeikh Muhammad Ibrahim Alu Syeikh memakzulkan (keputusan ini sangat bersejarah mengingat akhir-akhir ini para ulama Saudi begitu mudah disetir oleh kerajaan) Raja Sa'ud yang dinilai tidak lagi kapabel memikul tanggungjawabnya dan naiklah Raja Faishal sebagai Raja Saudi. Hubungan manis Saudi dan Ikhwan baru saja berbunga. 

Footnote:

1. Al-Ikhwan Al-muslimun Ahdats Shana'a At-Tarikh, Mahmud Abdul Halim, Hal: 181, Juz 1, Cet ke 5, Dar Ad-Dakwah, Tahun 1994. 
2. Shuwar Min As-Syarq; Fi Andunisiya, Ali At-Thantawi, Hal:5, Cet Pertama, Dar Al-Manarah, Jeddah, Tahun 1992.

BAGIAN 6
SEJENAK BERSAMA SYEIKH AZ-ZAHAWY

Apakah kalian kenal dengan orang tua yang ada di photo? Apakah kalian pernah mempelajari kitab Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh? Bukan, dia bukan  Syeikh Abdul Karim Zaidan, tapi gurunya, dan tentu saja sedikit aib bila kita tidak mengenal gurunya. Saya sebenarnya tidak tertarik membahas tentang individu dalam tulisan-tulisan ini. Akan tetapi, laki-laki tua yang kita lihat diphoto adalah seorang ulama Irak yang dulu sekali pernah mengunjungi Indonesia tahun 1954 diumurnya yang sudah sedemikian renta (72 tahun) hanya untuk menceritakan kepada kakek nenek kita kondisi Palestina dan Al-Quds. 

Seperti yang telah kita tau dari tulisan sebelumnya, Konferensi Islami Umum Al-Quds tahun 1953 diprakarsai oleh Syeikh Muhammad As-Shawwaf dan gurunya Syeikh Amjad Az-Zahawi. Hasil keputusan kongres menetapkan 5 orang ulama yang bertugas untuk menyampaikan kondisi Palestina keseluruh dunia Islam dan mengumpulkan sumbangan untuk jihad Palestina (Perjalanan dimulai dari Irak, Pakistan, Malaysia, Singapura, Jakarta, Jogja dan Surabaya). Kelima ulama itu adalah Syeikh Basyir Al-Ibrahimi dan Syeikh Fudhail Al-Wartlany dari Aljazair, Syeikh Muhammad Mahmud As-Shawwaf dan Syeikh Amjad Az-Zahawi dari Iraq serta Syeikh Ali At-Thantawi dari Suriah. Dua orang dari Al-Jazair meminta izin tak bisa ikut. Sedangkan Syeikh Mahmud As-Shawwaf sempat ikut sampai ke Pakistan dan kemudian terpaksa balik ke Irak. Tinggallah Syeikh Ali At-Thantawi dan sosok yang akan kita bicarakan; Syeikh Amjad Az-Zahawi.(1)

Syeikh Ali At-Thantawi berkata: Sebelum saya memulai, saya bersaksi bahwa Syeikh adalah 'keberkahan zaman', aku tidak pernah menemukan ulama sepertinya. Aku mengambil banyak pelajaran saat membersamainya baik dalam akhlak ataupun cara berpikirku. Aku pertamakali mengenalnya saat ia mengajar dan menjadi dosen di Sharia College di Al-A'zamia Iraq dimana aku juga menjadi dosen sastra dan tinggal disana. Yaitu sekitar tahun 1937. Kemudian aku meninggalkan Irak dan kembali ke Syam (Suriah) dan tak pernah lagi melihatnya kecuali saat konferensi (AlQuds tahun 1953).

Sungguh aku takjub dengan aktifitas yang terlihat diusia rentanya. Diusia dimana keaktifan padam dalam jiwa seseorang. Aku mengenalnya sebagai seorang Qadhi yang mengasingkan diri dengan kitab-kitab, murid-murid dan anak-anaknya. Beliau menjabat sebagai Qadhi Mousul beberapa lama dan tidak mengenal seorangpun. Ketika beliau pensiun dan meninggalkan pekerjaan dimana orang-orang seumurnya beristirahat tiba-tiba jiwanya berontak. Tiba-tiba ia kembali muda, muda dalam jiwa dan obsesinya. Tiba-tiba ia berpindah dari sebuah 'sangkar' puncak kesendiriannya menuju hidup yang penuh dengan pergaulan. Tiba-tiba ia menjadi Ketua Organisasi Penyelamatan Palestina, tiba-tiba ia adalah ketua Jam'iyah Al-Adab Al-Islamiyah, tiba-tiba ia adalah ketua Jam'iyah Al-Ukhuwah Al-Islamiyah, tiba-tiba ia adalah ketua Jam'iyah Tarbiyah Al-Islamiyah, tiba-tiba ia mereformasi sekolah-sekolah kementerian waqaf, ia mendirikan sekolah-sekolah dasar dan menengah, tiba-tiba ia melakukan perjalanan ke India, berulangkali ke Syam, Hijaz dan Mesir. 

(Pada awalnya) yang terlintas di benakku (entah darimana bayangan ini datang) ia adalah seorang yang radikal, terlalu keras dalam pendapatnya. Ketika aku melihatnya dalam konferensi (Al-Quds tahun 1953) aku menyalaminya, memperkenalkan diri dan mengingatkan diriku padanya. Tiba-tiba ia berkata: Aku tidak mengingatmu.!
Bayangannya (yang angkuh) menetap dalam jiwaku dan aku tidak akan menyembunyikannya. Akupun menjauhinya. Kukira, ia adalah pribadi yang angkuh, egois dan masa bodoh dengan orang lain. Kemudian aku mengetahui setelah lama membersamainya bahwa ia adalah seorang yang cepat lupa, jujur dan tak tau basa-basi dan bermanis muka. Ketika ia tidak mengingatku, maka mustahil ia akan bilang bahwa ia mengingatku atau diam dan berbasa-basi. Kemudian akupun menyertainya dalam banyak kesempatan hingga ia mendapatkan sebuah tempat dalam hatiku yang hanya terisi beberapa orang saja yang pernah kukenal. 

Ketika pertamakali aku melihatnya dalam konferensi dengan lilitan sorbannya yang kasar, dimana sisi-sisinya telah kotor oleh peluh, warnanya yang berubah, pakainnya yang lusuh serta rambutnya yang tidak mengenal tukang pangkas berbulan-bulan aku mengira bahwa beliau adalah seorang fakir. Akupun meminta izin padanya untuk memberikan sebuah baju padanya. Iapun mengetahui apa yang kurasakan. Beliau berkata: 
Afandi (tuan; panggilan sopan dizaman itu), kaukira aku miskin? Aku punya tanah seluas enam belas ribu hektar. 

Kemudian aku tahu seperti itulah beliau dengan ketidakpeduliannya. Ketika perjalanan Fi Sabilillah dimulai saat itu sungai Tigris meluap dan menenggelamkan Baghdad.  Saat kami sampai di Karachi (Pakistan) berulangkali aku bertanya padanya nasib ribuan hektar tanahnya. Apakah ikut tenggelam oleh banjir semuanya atau ada yang tersisa. Dengan marah ia menjawab: Aku keluar Fi Sabilillah. Jangan kau sibukkan kepalaku dengan (tanah tersebut). 

Adapun perihal wudhu' dan sholatnya maka sungguh aneh. Beliau sangat was-was terhadap kesucian, bukan najis. Jika beliau belum melihat najis dengan jelas maka beliau tak peduli. Karenanya, beliau sholat ditanah ataupun jalanan bandara. Akan tetapi musibah terjadi jika dipastikan pakaiannya bernajis. Disitulah waswasnya. Seringkali dalam pertemuan dengan para raja, para presiden, perdana menteri ataupun konferensi pers tiba-tiba beliau keluar dengan separuh pakaiaanya yang basah dan masih meneteskan air. Hingga akupun mencelanya. Beliau menjawab (dengan enteng): Afandi.! Kena najis. 

Jika ia mendengar panggilan sholat dan waktu telah masuk ia langsung berdiri seberapapun kondisinya. Ia meninggalkan jamuan makan para raja atau pertemuan resmi. Berulangkali aku melihatnya. Di jamuan makan Raja Yordania Raja Husein di Amman, jamuan makan perdana menteri Pakistan, dan jamuan-jamuan resmi lainnya. Ia melihatnya sebagai hal biasa yang tidak peduli jika hal itu bertabrakan dengan kebiasaan. Dan kau takkan mungkin untuk mencegahnya. 

Terkadang, ia harus 'diurus' seperti halnya anak kecil. Pernah suatu kali kami naik pesawat. Kukatakan padanya: kencangkan sabuk pengaman.
Kemudian aku lupa memberitahunya agar melepaskan sabuk pengamannya jika pesawat telah terbang. Dan diapun terikat selama beberapa jam. Ia menoleh dan berkata: Afandi..! Sabuk pengaman ini..!
Akupun membukanya. 

Adapun sikap wara'nya maka itu adalah sikap wara'nya sejati tanpa dibuat-buat. Ia menginfaqkan dana Organisasi Penyelamatan Palestina yang didirikannya dengan leluasa. Namun ia pantang mengeluarkan sebuah se senpun duit untuk memangkas rambutnya. Karena hal tersebut tidak termasuk nafaqah safar. Hingga aku terpaksa bersumpah untuk membayar biaya pangkas rambutnya di Mumbai India, barulah ia mau. 

Perjalanannya adalah untuk isu Palestina. Maka jika tak ada kemaslahatan untuk Palestina, ia takkan beranjak dari tempatnya semeterpun. Hingga ke Taj Mahal sekalipun. Ia tak melihatnya dan tak memberikan kesempatan bagiku untuk melihat bangunan termegah dimuka bumi itu. Kami berada di Delhi sedangkan Taj Mahal di Agra bisa ditempuh hanya 2 jam perjalanan dengan mobil. Dia tetap tidak mau melihat Taj Mahal karena tidak ada sangkut paut dan maslahat dengan isu Palestina. Meskipun orang lain datang jauh dari belahan dunia untuk melihat Taj Mahal. 

Jika ia berdiri Untuk sholat, maka ia mulai dengan membersihkan hatinya. Lalu setengah berteriak ia bertakbir 'Allahu Akbar' dan kaupun merasa takbirnya seperti bom yang dilemparkan tepat diwajah setan. 

Beliau dikenal cepat lupa. Pernah suatu hari aku mengunjunginya disebuah hotel di Damaskus. Pada waktu itu musim dingin dan kulihat kemejanya terbuka bagian dada. Kutanyakan:
Bagaimana kalau kita membeli jaket?
Beliau menjawab: jangan. 
Kukatakan: Bagaimana kalau aku memeriksa koper siapa tau ada jaket lain? 
Beliau menjawab: Aku tak punya. 
Kukatakan: bolehkah aku membutuhkan untuk melihatnya?
Beliau berkata: Afandi..! Aku tidak punya. 
Akupun membuka kopernya dan menemukan dua jaket. Beliaupun heran dan berkata: 
Demi Allah aku tidak tau darimana datangnya jaket itu. 

Ketika kami berada di Mumbai. Ia berkata: Ayo kita ke Konsulat Saudi lalu ke Konsulat Iraq. Dalam perjalanan, kami berpas-pasan dengan konsulat Iraq. Kukatakan padanya. Bagaimana kalau kita masuk konsulat Irak duluan? Beliau menjawab: Bismillah. Kamipun masuk dan mengobrol tentang Irak. Ketika keluar, beliau berkata: Ayo kita ke Konsulat Irak..! Kujawab: Kita barusan dari konsulat Irak. Beliaupun marah dan berkata: Kenapa tidak kau bilang bahwa kita di konsulat Irak. Aku mengiranya di konsulat Saudi..!

Akan tetapi meskipun pelupa, beliau mampu mengingat masalah-masalah ilmiyah yang pernah ia pelajari 60 tahun yang lalu seolah ia baru mempelajarinya dua hari kemarin. Beliau menguasai fiqih Hanafi dan ilmu-ilmu lain. Awalnya, beliau menjadi pengacara, lalu menjadi Qadhi, kemudian menjadi ketua pengadilan kasasi selama 20 tahun. Lalu menjadi dosen fakultas hukum, lalu menjadi guru sekolah di sekolah kementerian waqaf yaitu Madrasah As-Sulaimaniyah. Ketika undang-undang baru melarang untuk merangkap jabatan, ia kemudian memilih untuk mengajar di Sekolah karena sekolah tersebut didirikan oleh ayahnya dan karena pekerjaan mengajar murni karena Allah. Ia meninggalkan jabatannya sebagai Ketua Pengadilan Kasasi.(2)

Beliau wafat tahun 1967. Salah seorang murid beliau; Syeikh Abdul Karim Zaidan berkata: Tak ada seorangpun yang pernah kulihat mampu mempengaruhiku seperti pengaruh Syeikh Az-Zahawi rahimahullah padaku. Mataku tidak pernah melihat orang sepertinya betapapun banyaknya orang yang pernah kulihat dan pergauli. Aku melihat padanya apa yang kucari selama bertahun-tahun dan ingin kugapai dengan tangan dan kulihat dengan mataku.(3)

Salah satu murid Syeikh Az-Zahawi adalah Syeikh Muhammad Mahmud As-Shawwaf yang menjadi pemimpin batalion Mujahidin Ikhwan dalam perang Palestina tahun 1948 dan menjadi Muraqib Am pertama Ikhwan Iraq. Tahun 1959 ketika pemerintahan komunis menguasai Irak dan keamanannya terancam, beliau melarikan diri ke Suriah lalu ke Saudi dan diterima dengan baik oleh raja Faisal. Raja Faishal yang tahu dengan baik kapasitas Syeikh As-Shawwaf kemudian mengangkatnya menjadi penasehatnya. 

Footnote:
1. Shuwar Min As-Syarq, Fi Andunisiya, Ali At-Thantawi, hal: 10, cet pertama, Dar Al-Manarah, Jeddah, Tahun 1992.
2. Ibid. Hal 43-50 dengan sedikit perubahan. 
3. Min A'lam Ad-Dakwah, Abdullah Al-Aqeel, hal 328, Cet ke tiga, Dar At-Tauzi' tahun 2005.

Sumber : https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=1104953616558372&id=100011312326573