Toleransi Juga Ada Batasnya


Dulu, sebelum Orde Baru menjadikan tradisi perayaan bersama Hari Besar Keagamaan sebagai “metode kerukunan” antar umat beragama, perayaan Natal berjalan adem, tidak riuh oleh polemik. Mengucapkan Natal kepada tetangga yang Kristen biasa saja. Bahkan ucapan selamat Natal dari organisasi Islam kepada umat Kristen juga ada, dan hal itu tidak menimbulkan pro kontra.

Suasana menjadi berbeda, ketika pada awal Rezim Orde Baru, oleh Suharto yang entah diakui atau tidak dekat dengan para intelektual Kristen/Katolik. Banyak pos-pos strategis pada saat itu banyak diisi kalangan terdidik dari Kristen dan Katolik. Terutama di sektor keuangan dan militer. Sebenarnya faktor ini, juga dikarenakan kalangan yang terdidik banyak dari kalangan Kristen dan Katolik. 

Suatu saat, tahun 1970-an, jatuhnya Hari Raya Iedul Fitri dan Natal berdekatan, hanya selang satu minggu. Momen ini ditangkap Orde Baru untuk mentradisikan perayaan Hari Besar Agama Bersama. Ada sholawatan, ada juga koor gerejanya. Sehabis kyai berdo'a, disusul dengan do'a Kristen ala pendeta.

Tak hanya sekali, karena sejak saat itulah kemudian gencar undangan perayaan Natal bersama oleh pihak Kristen/Katolik. Kalau sebuah instansi mengadakan perayaan Natal, pegawai yang muslim juga dijadikan panitia. *Sinkretisme* inilah yang dikritik keras Buya Hamka. 

Dalam buku _Dari Hati ke Hati_, Buya Hamka menyebut pelaku sinkretisme perayaan hari besar agama itu bukanlah orang tang taat beragama, tapi justru orang yang sekuler dan jauh dari agama, sebab ia tidak memperhatikan kaidah agama dan juga perasaan umat yang taat beragama, yang menghargai ruang sakral ajaran agama.

Apalagi pada waktu itu, konflik akibat misionarisme terbuka yang dilakukan para evangelis sedang memuncak. Konversi keagamaan massal terutama di kantong-kantong eks PKI, dari Islam ke Kristen juga berlangsung masif. Pada suasana seperti itulah fatwa haram berpartisipasi dalam perayaan Natal dari Buya Hamka muncul.

Ketegangan Islam-Kristen di era ini diperkeruh ketika kemudian upaya merukunkan antara umat beragama mewujud dalam gerakan _interfaith_ yang menjurus pada pluralisme teologis, bukan sekedar kerukunan sosiologis.

Kelompok yang hobi "mroyek" pluralisme ini juga melebarkan batas, dari sekedar kebolehan mengucapkan selamat menjadi sah-sah saja bergembira ikut dalam perayaannya. Bahkan dulu ada satu tren yang disebut _passing over_, melintas batas keimanan, merasakan iman agama lain dengan jalan mengikuti misa atau ritusnya.

Bagi yang hobi koleksi buku, jejak pluralisme teologis ini terekam dalam aneka buku yang diterbitkan berbagai LSM studi agama pada saat itu. Tradisi percampuran ritus do’a antar agama muncul dan marak pada periode ini.

Padahal, di masa lalu, dalam sejarah negeri ini, soal mau ikut natalan atau tidak hal itu tidak masuk dalam ranah pembicaraan toleransi. Tanpa natalan bersama, sejarah mencatat antara para punggawa Masyumi dan punggawa Partai Katolik Republik Indonesia, pernah berada pada barisan yang sama di liga demokrasi saat menentang demokrasi terpimpin di era orde lama. I.J Kasimo, ketua Partai Katolik pada saat itu, kalau ke Jakarta, dia menjadikan rumah Pak Natsir sebagai persinggahan untuk bermalam.

Karena itu, sebenarnya menjadi sangat mengherankan apabila kemudian “ikut memperingati Natal” maupun “mengucapkan selamat natal” menjadi tolok ukur apakah seorang itu toleran atau tidak. Oleh Karenanya, hal ini menjadi penting untuk dibahas secara mendalam. Pada perayaan Natal ini ada sedikit titik singgung sejarah antara agama Islam dan Kristen, meski bila dielaborasi lebih jauh konsepsi akan peristiwa ini, antara Islam dan Kristen mempunyai perbedaan konseptual yang mendasar.

Hal yang menurut saya penting, dalam pergaulan, entah di dunia nyata atau maya, adalah disiplin “berbahasa” agar tidak terjebak dalam kebingungan dan polemik yang berkepanjangan mengenai peristiwa Natal ini. Sebab meski seolah merujuk pada sosok yang sama, dalam hal konsepsinya, ada perbedaan sangat mendasar antara Isa dalam Islam dan Yesus dalam Kristen. 

Kedua konsep ini  tidak mungkin dipertemukan kecuali dengan membongkar dasar keagamaan masing-masing. Dalam pandangan Islam, Isa a.s adalah seorang nabi dan rasul, sebagaimana sebelum Nabi Isa a.s sudah banyak Nabi dan Rasul yang diutus Allah SWT. Berbeda dengan konsepsi Kristen mengenai Yesus yang merupakan inkarnasi Tuhan. Sebagai muslim, saya memang menjaga diri untuk tidak memakai kata “Yesus” untuk menyebut Nabi Isa.

Demikian juga problem perayaan hari kelahiran Yesus, yakni perayaan Natal. Dalam penelusuran literatur, ternyata yang menolak untuk merayakan Natal pada tanggal 25 Desember bukan hanya umat Islam. Kelompok-kelompok kristen seperti Advent dan kristen Koptik  juga menolak perayaan Natal pada tanggal 25 Desember. Tapi biarlah hal itu menjadi urusan internal mereka yang Kristen. Umat Islam nggak perlu ikut campur.

Oleh karena itu, saya pribadi, memilih diam saat hari Natal, sebab saya tidak ingin mengganggu kekhidmatan perayaan yang sedang dilaksanakan oleh teman-teman Kristen saya, dan tulisan ini saya posting setelah hari Natal. Semoga nggak bikin ribut. 

Oleh: Arif W