20 Prajurit Linud 100 Dipecat "Insiden Binjai Berdarah Tahun 2002"

Batalyon Dikosongkan Satu Tahun
JAKARTA - Batalyon Lintas Udara 100 Prajurit Setia (Linud 100/PS) Kodam-I/Bukit Barisan dikosongkan selama satu tahun. Sedangkan 20 prajurit yang terlibat bentrok dengan Brimob dan Polres Langkat di Binjai dipecat dengan tidak hormat.

Pemecatan 20 prajurit Linud-100/PS bersamaan dengan pencopotan tanda jabatan Danyon Linud 100/PS dari Mayor Inf Madsuni dan lima Danki dilakukan langsung oleh KSAD Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu, pada apel luar biasa di lapangan Makodam-I/BB Jalan Binjai Medan, Rabu. Ke-20 prajurit itu terdiri atas seorang bintara dan 19 tamtama.

Proses hukum ke-20 prajurit yang dipecat itu akan dilanjutkan. ''Ini bukan keinginan TNI. Apa yang terjadi hari ini karena prajurit-prajurit tidak melaksanakan sumpah prajurit,'' tandas KSAD.
Upacara pemecatan dengan melepas pakaian seragam dinas TNI dan pencopotan jabatan Komandan Linud 100/PS tersebut, dihadiri Pangkostrad Letjen TNI Bibit Waluyo, Gubernur Sumut HT Rizal Nurdin, dan Pangdam I/BB Mayjen TNI Idris Gassing.
Para prajurit yang dilucuti pakaian dinas dan topinya, langsung masuk rumah tahanan militer (RTM) untuk menjalani proses selanjutnya.

Jenderal Ryamizard menegaskan, markas Batalyon Linud 100/PS di daerah Namu Sira-Sira Binjai untuk sementara dikosongkan selama satu tahun hingga waktunya nanti diganti dengan prajurit baru.
Seluruh prajurit Linud 100/PS akan ditempatkan di berbagai batalyon lain di wilayah Kodam I/BB, sementara Komandan Batalyon Linud-100/PS diambil alih oleh Pangdam I/Bukit Barisan Mayjen TNI Idris Gassing dan sebagai penanggung jawab batalyon adalah Letkol Inf Zaidun.

Komandan Batalyon Linud 100/PS sebelumnya, Mayor Inf Madsuni, bersama lima Danki yang dicopot tanda jabatannya, selanjutnya ditarik dan ditempatkan di Kodam I/BB setingkat perwira menengah (pamen) dan perwira pertama (pama). Mereka yang ditarik, selain Madsuni, adalah pejabat Komandan Kompi (Danki) A Letda MT Saragih, Danki C Lettu Rafiola, Danki Bantuan Lettu Dwi Suwarno, dan Danki Markas Lettu Suprapto.

''Batalyon Linud 100/PS tidak dibubarkan, tetapi pengosongan sementara menunggu penggantian prajurit baru. TNI Angkatan Darat juga masih membutuhkan 30 batalyon,'' ucap KSAD yang selama tiga hari di Medan.
Simpang-siur
Sementara itu, tiga hari setelah bentrok aparat antara prajurit Linud 100/PS dengan pasukan Brimob dan Polres Langkat di Binjai, hingga hari Rabu jumlah korban masih simpang-siur baik dari anggota TNI, Polri, maupun warga sipil.
Sebelumnya dalam laporan resmi yang disampaikan Gubernur Sumut HT Rizal Nurdin bersama Pangdam I/Bukit Barisan Mayjen TNI Idris Gassing dan Kapolda Sumut Irjen Pol Ansyaad Mbai, korban tewas 6 orang, 23 luka-luka.
Namun data di lapangan, jumlah korban tewas lebih dari 6 orang, termasuk dua dari masyarakat sipil, yakni M Rusli Mandai, pengusaha kedai nasi, penduduk Ismaliyah dan Ir Tumpak Sidauruk penduduk Jalan STM Medan.

Suasana kota Medan dan Binjai pascabentrok bersenjata Linud 100/PS dengan Brimob dan Polres Langkat, pada hari Rabu kembali normal. Semua aktivitas pemerintahan, sekolah, dan masyarakat berjalan lancar.
Petugas Polres Langkat di Binjai dan di Markas Batalyon A Brimob Tanah Tinggi Binjai sudah membersihkan puing-puing bangunan dan kendaraan yang rusak dan hancur dibakar.

Serius
Sementara itu, Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) HT Rizal Nurdin meminta para direktur rumah sakit di Medan untuk serius melayani dan menyelamatkan jiwa warga sipil yang menjadi korban insiden di Kota Binjai.
Gubernur Rizal Nurdin melalui juru bicaranya, Drs H Eddy Syofian, di Medan, Rabu sore, mengatakan, sesuai penjelasan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu, Kodam I/BB akan menanggung biaya warga sipil yang kini dirawat di beberapa rumah sakit. "Jika hal itu terkendala, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pempropsu) akan mengambil alih membantu biaya perawatan warga sipil yang terkena peluru," tutur Eddy Syofian menyampaikan penuturan Gubernur Rizal Nurdin.

Kepada pimpinan rumah sakit di Medan, Rizal Nurdin minta mereka menanggulangi dulu segala biaya, terutama untuk menyelamatkan nyawa warga sipil, karena dilaporkan beberapa korban harus segera dioperasi.

Pernyataan sekaligus jaminan tanggung jawab untuk membantu biaya perawatan korban warga sipil oleh Pempropsu itu, sehubungan dengan ada laporan salah seorang korban, M Nasir, terpaksa menyerahkan jaminan barang kepada pihak RSU Pirngadi.

M Nasir, ayah dari tiga putri, penduduk Perumnas Sei Berngam Binjai, pedagang rokok ketengan, kendati masih berbaring di tempat tidur RSU Pirngadi Medan, sempat bertanya siapa yang akan mengganti barang dan tempat jualannya yang rusak.

Dua warga sipil korban bentrok berdarah antara pasukan Linud 100/PS dengan Brimob dan Polres Langkat di Binjai meninggal dunia dan tiga orang lagi masih dalam perawatan intensif.
Salah seorang warga sipil yang terkena tembakan, M Nasir (43), penjual kios rokok di simpang Tugu Binjai, saat ini dirawat di RSU Pirngadi Medan dan tim dokter akan mengeluarkan peluru yang bersarang di pinggangnya.

Kemudian dua korban warga sipil yang luka-luka masih keluarga almarhum M Rusli Mandai, penduduk Jalan Ismailiyah, Medan, dirawat di RS Putri Hijau Medan.

Tindakan Hukum
Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) mendesak Panglima TNI mengambil tindakan hukum yang tegas terhadap anggota Batalyon Lintas Udara (Linud) 100/Prajurit Setia yang terlibat baku-tembak dengan Brimob di Binjai, Langkat, Sumatera Utara.
Kontras juga mendesak Batalyon Linud 100 dilikuidasi sebagai bentuk kesungguhan TNI melakukan reformasi. Demikian pernyataan sikap Kontras yang diterima Rabu kemarin.

Dalam siaran persnya yang ditandatangani anggota Presidium Koordinatoriat Badan Pekerja Kontras Mouvty MA juga disebutkan keprihatinannya yang mendalam atas peristiwa ini. ''Keprihatinan ini makin mendalam ketika melihat fakta bahwa pemicu persoalan ini adalah penangkapan pengedar narkoba yang dibekingi Batalyon Linud 100 tersebut oleh aparat kepolisian,'' ungkap siaran pers Kontras.
Kontras melihat, peristiwa Binjai ini menunjukkan reformasi TNI masih bersifat jargon semata. Sebab, nyatanya masih banyak aparat TNI yang bersikap dan berwatak preman, yang makin brutal karena memiliki senjata. Watak premanisme itu antara lain terlihat dari adanya aparat TNI yang membekingi bisnis terlarang seperti narkoba dan perjudian.

Karena itu, Panglima TNI harus mengambil tindakan hukum yang tegas dalam kasus Binjai ini, yakni menindak aparat Batalyon Linud 100 yang terlibat dan melikuidasi batalyonnya. ''Sebagai bukti kesungguhan TNI melakukan reformasi, maka segala bentuk demoralisasi dalam institusi militer harus ditindak tegas,''ungkap Kontras.

Selain itu, Kontras juga mendesak kepolisian untuk mengusut peristiwa yang mengakibatkan jatuhnya korban sipil ini secara tuntas. Dan yang pokok lagi, Kontras juga mendesak Presiden melakukan kontrol terhadap segala bentuk pemberian hak-hak khusus terhadap militer dalam berbagai bisnis.

''Tindakan ini diperlukan untuk mengembalikan fungsi dan peran pertahanan TNI dan menghentikan keterlibatan mereka dalam berbagai hal yang menghilangkan profesionalisme dan memicu persoalan konflik.''

http://www.suaramerdeka.com  (3 oktober 2002)

KRONOLOGI "Binjai Berdarah" Tahun 2002

Tahun 2002 lalu Rosma boru Hasibuan lega melihat putera sulungnya muncul di ambang pintu. Baju pemuda tanggung itu dekil. Di tangan kanannya ada sebungkus pecal yang tadi dibelinya di pasar. Amru Daulay berkelahi lagi dengan anak-anak kampung tetangga.

Rosma mendengar Amru berkelahi dari si bungsu Razali Daulay. Kata Razali, sang abang dikeroyok beberapa anak kampung Payah Roba, dekat rel kereta api yang membatasi Payah Roba dan Limau Sunde, kampung keluarga Daulay. Perkampungan itu letaknya tak begitu jauh dari pusat kota Binjai --sebuah kota ukuran sedang sekitar 22 kilometer barat Medan, Sumatera Utara.

Tadinya Amru dan Razali naik sepeda berboncengan untuk membeli pecal. Mereka dicegat sekelompok anak yang bermusuhan dengan Amru. Razali kecil pulang awal. Abangnya mengatakan, “Kau pergi selamatkan sepeda kita ini. Biar aku hantam mereka!”

Amru tak terluka, tapi menurut Rosma kepada saya belum lama ini, Amru kalah dalam perkelahian tak berimbang itu, pun begitu masih sempat pula dia membeli pecal untuk lauk mereka sore itu.

Amru dan Razali cuma dua bersaudara. Ayah mereka Sangkot Daulay, seorang penjual ikan atau terkadang membawa becak mesin. Rosma lebih besar penghasilannya. Dia punya gaji sebagai guru dan punya kebun coklat serta pisang setengah hektar.

Sejak sekolah dasar Amru sering berkelahi. Meski nakal di luar rumah, Amru lebih patuh pada ibunya ketimbang Razali yang cenderung manja. Amru gampang terpengaruh teman. Dia tidak menolak jika diajak berantem dengan anak-anak lain. Atau membolos sekolah teknik menengahnya untuk jualan ikan tanpa sepengetahuan orangtua. Keinginan Amru paling besar adalah jadi orang kaya.

Dalam kekesalannya, Amru pernah berkata pada ibunya, “Aku Mak, kalau tamat STM nih, aku masuk tentara saja. Biar orang tak sembarangan lagi sama aku dan keluarga kita.”

Kini Amru Daulay memang berhasil jadi tentara dengan pangkat Sersan Dua di Bataliyon Lintas Udara (Linud) 100/Prajurit Setia (PS) yang bermarkas di Namu Sira-Sira, Binjai. Dia komandan regu pada Kompi Senapan A dengan anak buah sembilan orang.

Bataliyon Linud 100 merupakan pasukan pemukul Komando Daerah Militer (Kodam) Bukit Barisan yang bermarkas di Medan. Pasukannya mempunyai spesialisasi menyerang musuh dari udara. Mereka menyergap dengan cara terjun melalui helikopter atau pesawat. Mereka dianggap pasukan elit karena kemampuan tempurnya tinggi. Jumlah pasukannya sekitar 700-an personil. Nama “Prajurit Setia” diartikan sebagai bentuk kesetiaan mereka pada Nusa dan Bangsa.

Amru selalu membanggakan kemampuan menembaknya. Tapi keterlibatannya dalam peristiwa memalukan 30 September lalu justru mengakhiri karir tentaranya. Dia dan 19 temannya mendekam di rumah tahanan militer Medan.

Sersan Dua Amru Daulay bersama ratusan prajurit Linud 100, pada Minggu dini hari itu, menyerang Markas Polisi Resort (Polres) Binjai dan Brigade Mobil (brimob) Binjai. Beda dengan perkelahian kampung, kali ini Amru justru mengeroyok Polisi dalam sebuah aksi bak perang sungguhan. Menurut jurubicara Kodam Bukit Barisan Letnan Kolonel Nurdin Sulistyo, dalam pertikaian tak berimbang itu, empat anggota Brimob, dua Polisi, satu tentara dari Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) dan tiga warga tewas. Puluhan lainnya luka-luka.

SABTU 28 September lalu adalah hari ulang tahun pertama Ayu Daulay, putri satu-satunya Amru Daulay dan Nur Asiah, perempuan berusia 23 tahun yang dinikahi Amru tiga tahun lalu. Tak ada pesta, kecuali acara potong kue dan doa selamat dari kedua keluarga mereka yang berkumpul di rumah mertua Amru di Payah Roba.

Amru baru seminggu kembali dari kursus militer di Pematang Siantar. Tiga minggu dia meninggalkan keluarganya. Ini hal biasa bagi seorang tentara untuk pergi jauh untuk tugas. Antara 1999-2000, saat umur Ayu tiga bulan, Amru pergi ikut operasi militer setahun di Aceh. Ketika pulang, putrinya sudah bisa berjalan. Amru bahkan tak sempat melihat Sangkot Daulay meninggal.

Malam itu juga ada pesta pernikahan salah seorang anggota Bataliyon Linud 100 di Pasar Sepuluh, Tandem, sebuah kawasan pinggiran Binjai. Banyak tentara, termasuk Amru, datang dan bergadang hingga larut malam, menikmati hiburan musik keyboard.

Di tengah pesta Amru mendengar kabar Prajurit Satu Abdul Rahmat dan Prajurit Satu Hilman ditembak Polisi. Keduanya teman satu kompi Amru. Menurut Amru Daulay dalam wawancara dengan saya di penjara militer, keduanya dikabarkan kritis bahkan diisukan tewas. Kebanyakan tentara yang ada di pesta itu marah. “Masak kita diam saja teman kita ditembak polisi? Dimana harga diri kita?”

Polisi dan tentara biasa ribut, bukan saja di Binjai, tapi di banyak tempat di seluruh Indonesia. Di Binjai kejadian itu juga bukan yang pertama. Sebelumnya seorang anggota Linud dikeroyok lima Brimob karena rebutan perempuan. Keributan juga pernah terjadi di sebuah kafe karena urusan judi togel dan obat terlarang. Keributan-keributan kecil ini, walau tak berbuntut panjang, toh menimbulkan kekesalan dan sentimen antar korps.

Abdul Rahmat teman baik Amru. Mereka berteman akrab sejak pangkat Amru masih prajurit rendahan. Mereka tinggal di barak lajang dan sama-sama merasakan kerasnya latihan militer. Mereka juga merasakan ketegangan antara hidup dan mati saat baku tembak dengan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka.

Malam itu, Amru memutuskan pulang ke rumahnya di asrama Linud, tanpa menjemput istri dan putrinya, yang tertinggal di rumah mertua. Dia gusar mendengar kawannya ditembak polisi.
Penyebab Bentrokan

SABTU pagi, atau 12 jam sebelum pesta Pasar Sepuluh, sekelompok pemuda meneror tiga rumah yang terletak di samping komplek perumahan mewah Great Wall Binjai. Para pemilik rumah itu bersengketa dengan perusahaan perumahan Great Wall. Logikanya, mereka tak bersedia pindah karena tak sepakat dengan harga ganti rugi. Pemuda-pemuda itu anggota organisasi kepemudaan Angkatan Muda Pembaruan Indonesia, sebuah onderbouw Partai Golongan Karya. Mereka melempari rumah dan mengobrak-abriknya hingga rusak berat.

Si pemilik rumah mengadu ke polisi dan menuduh Great Wall sebagai dalangnya. Polisi bertindak dan menangkap empat orang pelaku: Alan, Zul Irham, Imul, dan Marwan Rangkuti.

Marwan Rangkuti ditangkap di sebuah warung minuman, di simpang Rambung, pada Sabtu sore. Simpang Rambung ini merupakan persimpangan jalan menuju Markas Bataliyon Linud 100. Warung sederhana itu sering dijadikan tempat mangkal anak-anak muda, untuk ngobrol sampai mabuk-mabukan.

Sabtu sore sekitar pukul enam, satu regu Polisi dengan mengendarai mobil Daihatsu Taft dan Toyota Kijang datang menangkap Marwan Rangkuti. Prajurit Satu Abdul Rahmat kebetulan ada di sana. Marwan kawan Abdul Rahmat.

Dalam dakwaan jaksa militer pada persidangan Abdul Rahmat dan kawan-kawan di Mahkamah Militer Medan, 6 November lalu, disebutkan terjadi perselisihan ketika Marwan ditangkap. Abdul Rahmat spontan mendatangi polisi, “Ada apa ini Bang?”

“Ini urusan polisi!” jawab salah seorang polisi.

“Saya juga anggota. Dari Linud. Apa masalahnya?”

“Nggak ada Linud-Linud disini. Mau kupanggil Brimob?” hardik polisi Brigadir Satu Handoko.

Handoko, salah seorang serse Polres Binjai. Dia tanpa basa-basi langsung mengeluarkan pistol dan melepaskan tembakan ke udara.

Abdul Rahmat lari dengan sepeda motornya. Dia merasa marah karena merasa diremehkan. Dia pulang ke Bataliyon mencari sejumlah teman dan mengajak mereka mendatangi polisi yang menangkap Marwan.

Pukul 20.30 dengan naik lima sepeda motor, Abdul Rahmat dan sembilan anggota Linud mendatangi Polres Binjai. Kantor polisi tak begitu ramai karena sudah malam tapi sejumlah Serse dan Polisi jaga masih ada di sana.

Abdul Rahmat dan empat temannya masuk. Lima lainnya menunggu dekat pos jaga. Mereka berpakaian biasa dan membawa senjata pisau.

Kedatangan mereka memicu kegaduhan. Mereka mencari Handoko. Tapi Handoko tak ada. Polisi lain berkeluaran dari ruang kerja mereka.

Seorang anggota Linud berteriak, ”Mana kawan kami? Keluarkan si Marwan.”

Marwan ada dalam sel. Malam itu dia ditahan karena dalam pemeriksaan, polisi juga menemukan sembilan butir pil ecstasy dalam saku celananya. Alan, Imul dan Irham sudah dilepas beberapa jam sebelumnya.

Terjadi adu mulut dan semua berlangsung cepat hingga salah seorang tentara menyambarkan pisaunya ke tangan Inspektur Dua Haris Simbolon, seorang anggota Serse yang mencoba menghalangi rombongan itu membebaskan Marwan.

Mendengar ribut-ribut, kepala satuan Serse Ajun Komisaris Polisi Togu Simanjuntak keluar dan mendatangi sekelompok tentara yang sedang marah-marah itu.

“Dari mana kamu?” tanya Simanjuntak marah sambil memukul Abdul Rahmat hingga jatuh.

Rahmat marah dan mencabut pisau yang terselip di pinggangnya.

Simanjuntak tak kalah gertak, cepat menyambar pistol. “Nanti kutembak kau,” ancamnya.

Abdul Rahmat justru mengayunkan pisau ke kepala Simanjuntak. Daun telinga kiri Simanjuntak tersabet hingga nyaris putus. Simanjuntak melepaskan tembakan ke arah kaki dan dada Rahmat. Dia roboh ke tanah. Polisi lain beramai-ramai menendang dan menginjak tubuh Rahmat hingga babak belur. Kedua kakinya patah dan giginya copot.

Melihat Rahmat jatuh, Prajurit Satu Hilman berusaha menolong, tapi salah seorang polisi menembak lutut kirinya dari belakang. Hilman jatuh tapi bisa melarikan diri bersama teman-temannya.

Polisi mengejar mereka sambil menembakkan pistol. Peluru kedua bersarang di paha kanan Hilman. Tak sanggup lagi berlari, Hilman roboh dekat Markas Polisi Militer, yang berjarak sekitar 100 meter dari Polres Binjai. Sabtu malam itu, delapan tentara lain menyelamatkan diri entah ke mana.


Linud Menyerang

SEPANJANG Minggu 29 September, markas Bataliyon Linud 100 tampak lengang. Kebanyakan prajurit, terutama yang lajang, berada di luar markas. Setiap Sabtu sore hingga Minggu malam, tentara di sana mendapat izin bermalam di luar markas.

Markas Batalyon itu berada di desa Namu Ukur, kecamatan Namu Sira-Sira, sebuah daerah pinggiran yang penduduknya didominasi orang Karo dan Jawa. Namu Ukur berjarak 10,5 kilometer dari Binjai. Di sana banyak kebun sawit, kelapa, dan karet.

Markas Linud 100/PS dilengkapi dengan kantor, asrama tinggal, dan lapangan luas untuk latihan. Sekitar 700-an personilnya dibagi lima kompi: Kompi Senapan A, Kompi B, Kompi C, Kompi Bantuan dan Kompi Markas. Sekitar satu kompi pasukan Linud 100 saat itu sedang siap-siap berangkat melakukan operasi di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara.

Akibat keributan Sabtu malam, ada instruksi dari Kodam Bukit Barisan bahwa semua tentara tak boleh keluar Markas tanpa izin. Amru Daulay mengatakan pada saya, sepanjang hari itu dia melihat melihat para tentara di Markas Linud saling berkelompok di barak mereka, sibuk membicarakan peristiwa penembakan Abdul Rahmat dan Hilman semalam.

Mereka tak bisa menerima perlakuan Polisi yang selama ini dianggap meremehkan Korps mereka. Kebanyakan tentara Linud panas hatinya dan tak rela jika terus berdiam diri. Sebuah rencana pembalasan pun dilakukan. Amru sepakat dengan ide teman-temannya itu.

Seperti biasa, setiap Minggu pukul 21:00, seluruh prajurit melaksanakan apel untuk pengecekan pasukan pulang yang sebelumnya izin bermalam. Malam itu hampir semua prajurit ikut apel di halaman depan markas lengkap dengan pakaian loreng hijaunya.

Komandan Batalyon Linud 100/PS Mayor Infanteri Madsuni, yang diwawancarai sejumlah wartawan empat hari setelah peristiwa penyerangan bercerita, dalam apel itu dia memberi pengarahan pada ratusan anak buahnya tentang rencana pengiriman sekompi pasukan Linud ke perbatasan Aceh dua hari mendatang. Dia juga menjelaskan peristiwa yang terjadi di Polres Binjai dan memerintahkan pasukannya tak mengambil tindakan apa pun. Persoalan itu diselesaikan para atasan mereka. “Kalau merasa saya komandanmu, sebagai bapakmu, tolong ingat, jangan sampai ada anggota yang keluar tanpa perintah saya,” katanya.

Tak ada prajurit yang membantah perkataan komandannya. Mereka membubarkan diri. Sebagian ada yang kembali ke asrama mereka. Sebagian lagi bertahan dekat barak Kompi Senapan A. Dalam dakwaan oditur militer disebutkan para tentara itu bergerombol, membicarakan lagi rencana pembalasan itu. Mereka akan menyerang Polres Binjai malam ini. Mereka perlu senjata, tapi semua senjata di simpan di gudang.

Prajurit Satu Askar dan Prajurit Satu Syukir yang ada dalam kelompok itu berteriak, “Harus kita balas. Tidak betul kalau tidak kita balas.”

Sersan Dua Jalaluddin, seorang Komandan Regu Kompi Senapan A, paling bersemangat dengan rencana itu. Dia memberitahu Amru Daulay yang ikut berkumpul di situ, “Pasukan siap.”

Mereka pun bergerak ke gudang senjata Kompi Senapan A. Lampu dipadamkan. Dalam keadaan gelap, mereka menyekap Sersan Satu Hasbullah, kurir yang bertugas menjaga gudang senjata. Kaki dan tangan Hasbullah diikat dengan tali pinggang. Kunci gudang diambil dari saku celananya.

Pintu gudang pun dibuka. Seratusan tentara menyerbu masuk berebutan mengambil senjata laras panjang secara serabutan: senapan serbu SS-1, senapan mesin buatan Israel Minimi, dan Grenade Launching Machine (GLM) lengkap dengan amunisi. Amru Daulay menyambar SS-1 dan mengambil 20 butir peluru.

Masih menurut oditur militer, Sersan Satu Jalaluddin melepaskan tembakan satu kali ke udara. Dia memerintahkan Prajurit Kepala Bahtiar, yang sedang piket, membunyikan alarm sira-sira.

Semua orang mendengar alarm itu mengaung-ngaung memecah kesunyian malam. Prajurit-prajurit yang sudah pulang ke asrama kelabakan kembali ke lapangan apel. Sebagian membuka gudang senjata di masing-masing kompi untuk mengambil senjata. Sudah peraturan, jika alarm sira-sira berbunyi, siapa pun prajurit dan di mana pun dia berada, harus segera berkumpul dengan pakaian dan senjata lengkap. Alarm itu jadi semacam genderang perang bagi mereka.

Hanya dalam hitungan menit, ratusan tentara bersenjata lengkap sudah berkumpul di lapangan. Ketika lampu kembali menyala, enam truk tentara sudah siap mengangkut pasukan.

Menurut Mayor Madsuni, dia sempat kebingungan mendengar alarm sira-sira. Dipikirnya para prajurit hendak latihan. Tapi ketika melihat pasukannya sangat banyak, hampir dua kompi lebih, baru dia sadar. “Apa ini? Ada apa ini?” teriaknya melihat gudang senjata terbuka. Dia menghalangi sejumlah prajurit yang mengambil senjata. Tapi mereka tak bisa dibendung.

“Kalau Komandan tidak izin, silahkan tembak kami,” kata seorang prajurit kepada Madsuni.

“Selama ini kami disalahkan terus-terusan. Pokoknya kami tidak rela kawan kami ditembaki musuh.”

Madsuni tak bisa bergerak. Beberapa prajurit menyeretnya menjauh. Dia mencari beberapa perwira komandan kompi untuk membendung jalan keluar markas. “Oke, kita bendung di depan,” perintah Madsuni. Portal di mulut masuk markas ditutup tapi dijebol anak buahnya yang marah.

Keadaan tak terkendali lagi. Prajurit-prajurit itu brutal. Mereka bergerak spontan membentuk massa yang tak bisa dibendung. Tak jelas siapa memimpin siapa. Kebanyakan karena ikut-ikut kawan karena solidaritas. Mereka merasa bertindak benar karena berada pada posisi membela kehormatan korps Lintas Udara yang diremehkan Polisi.

Pukul 22:15 truk pertama meninggalkan Markas Linud. Disusul truk-truk lainnya. Jalan selebar lima meter itu menjadi ramai. Sebagian tentara yang belum terangkut berinisiatif jalan kaki. Sebagai pasukan tempur mereka punya kelebihan dalam hal infanteri, mampu berjalan sejauh 40 kilometer tanpa berhenti.

Amru Daulay yang berpakaian loreng lengkap dengan senjata ada di bak belakang truk Reo bersama 20-an kawannya. Tujuan mereka menyerang Polres Binjai. Sejumlah Perwira mengejar dengan motor trail tapi tanpa hasil.

Malam itu sebanyak dua kompi gabungan, kebanyakan dari Kompi Senapan A dan Kompi B, bergerak ke luar Markas. Jumlahnya tak bisa dipastikan, karena anggota kompi lainnya turut bergabung secara spontan. Mereka diangkut dengan enam truk militer plus satu truk pengangkut kelapa sawit yang kosong secara estafet. Mereka akan menyerang polisi. Peringatan bahaya segera disampaikan Batalyon Linud ke Polres Binjai melalui telepon.

Pukul 22:45 truk Reo yang ditumpangi Amru Daulay tiba di lapangan depan poliklinik militer di Simpang Bangkatan. Markas Polres Binjai hanya berjarak 100 meter dari situ. Tentara lainnya datang susul-menyusul. Tentara-tentara itu melompat dari truk dan segera menyusun strategi penyerangan. Ratusan tentara berkonsentrasi dekat Polres Binjai. Lainnya menyebar ke titik-titik tertentu dalam kota Binjai, dengan naik truk dan jalan kaki.

Binjai belum begitu sepi menjelang tengah malam. Beberapa kendaraan masih berseliweran. Sejumlah pedagang rokok masih membuka kiosnya di sudut-sudut jalan di kota. Tapi melihat tentara bersenjata lengkap datang bergerombol mereka segera bersembunyi. Tentara itu menyuruh warga sipil segera menyingkir karena akan ada “perang.”

Sebagian tentara memblokir jalan yang menghubungkan Polres Binjai dengan markas Brimob Binjai, yang terpisah sekitar empat kilometer. Brimob Binjai merupakan markas Kompi IV Batalyon A Satuan Brigade Mobil Sumatera Utara. Markas mereka terletak di jalan utama yang menghubungkan Binjai dan Medan. Logika para tentara yang memblokir itu adalah kemungkinan datangnya bantuan dari Brimob bila sesama Polisi diserang di Polres Binjai.

Polres Binjai adalah sasaran utama mereka. Seratusan tentara Linud bergerak menyebar. Mereka mengendap dan bertiarap di balik pot-pot bunga pinggir jalan sekitar Polres Binjai. Moncong senjata diarahkan ke Markas Polisi yang letaknya agak masuk ke dalam. Markas Polisi itu gelap. Polisi sudah tahu akan ada penyerangan dan bersembunyi dalam markas. Jumlah mereka 50-an orang.

Seorang tentara melepaskan tembakan cahaya merah ke langit sebagai tanda. Suara ledakan dari senjata pelontar membuka tembakan pertama, menghantam atap markas polisi. Penyerangan dimulai. Tentara Linud 100 menembaki Markas dari luar. Peluru-peluru berhamburan seperti siraman air, menghantam tembok, papan nama dan apa saja yang ada dalam kantor polisi itu. Kaca jendela berpecahan. Sejumlah polisi sempat membalas tembakan dengan pistol sebelum kucar-kacir melarikan diri.

Di kegelapan, Amru melihat teman-temannya menembaki Markas Polisi yang terpaut 30 meter dari tempat mereka tiarap. Amru terdorong ikut menembak. Satu, dua tiga, empat peluru berentetan ke luar dari moncong senjatanya. Tak ada seorang pun Polisi yang tampak, maka bangunan kantor menjadi sasarannya.





Bentrokan Pun Pecah!

MEDAN dan sekitarnya. Perintah siaga diumumkan di seluruh radio panggil Polisi malam itu. Pesannya singkat, “Polres Binjai diserang Linud.” Di markas besar Brigade Mobil, Jalan Wahid Hasyim, Medan, puluhan pasukan Brimob siap sedia. Ada permintaan bantuan pasukan dari Polres Binjai.

Bantuan pertama datang dari Brimob Kompi IV Batalyon A Binjai. Pukul 23:40 iring-iringan truk dan mobil Suzuki Jimny yang membawa belasan pasukan Brimob meluncur ke arah Polres Binjai. Markas Brimob Kompi IV cuma berjarak satu kilometer dari bundaran tempat tentara Linud berjaga-jaga sejak awal.

Maka kontak senjata pertama antara kedua pasukan tak terhindarkan. Pertempuran itu tak berimbang. Tentara Linud di sekitaran bundaran tugu lebih banyak jumlahnya. Truk Brimob menjadi bulan-bulanan peluru.

Dalam truk Brimob, Inspektur Dua Tito Yudha Darma, yang duduk di bagian depan terluka parah. Menyusul tumbang Bharada Heri Kurniawan dan Brigadir Satu Ilham terkena terjangan peluru. Truk Brimob itu pun melarikan diri.

Pada pukul 24:00 iring-iringan Suzuki Katana, truk Dyna, dan mobil APC (armed personnel carrier) atau mobil anti peluru yang membawa pasukan Brimob keluar dari Medan menuju Binjai. Di atas truk Dyna terdapat 17 pasukan Brimob. Inspektur Dua Hardy Chaniago, Wakil Komandan Brimob Kompi I Bataliyon A, mendapat telepon dari atasannya. Mereka diperintahkan untuk mengevakuasi pasukan Brimob yang kabarnya ditembaki tentara Linud. Chaniago duduk di bagian depan truk bersama supirnya Bharada Marwin Santosa.

Marwin membawa truk itu kencang melaju ke arah Binjai. Jalan Medan-Binjai terlihat sepi. “Pelan-pelan sedikit. Kalau dihadang kita cepat berhenti,” kata Chaniago.

Melewati daerah Diski, saat melintasi tugu ucapan “Selamat Datang” kota Binjai, ada tumpukan warga berdiri berkelompok di pinggiran jalan. Mereka berteriak-teriak, melambaikan tangannya minta truk berhenti. “Berhenti. Berhenti. Jangan masuk. Ada perang.”

Truk terus melaju. Mobil Suzuki Katana, yang membawa tiga orang Brimob, sudah tak tampak karena berangkat lebih cepat dari mereka. Satu kilometer menjelang markas Brimob Binjai, Chaniago berkata, “Marwin, kita masuk ke Batalyon.”

“Ya, Dan.” Marwin segera memindahkan kaki ke pedal rem untuk memperlambat laju truk. “Dan” singkatan kata “komandan” –sesuatu yang lazim di kalangan polisi dan tentara Indonesia.

Di depan mereka, Markas Kompi IV Batalyon A Brimob Sumatera Utara, dalam keadaan terang-berderang oleh lampu sorot yang ada di beberapa sudut halaman. Markas itu dikelilingi lapangan luas. Hanya bangunan kantor dan masjid kecil tampak depan Markas. Rumah-rumah prajurit berada jauh di belakang. Di depan Markas, rumah penduduk berderet rapat. Jalan Medan-Binjai di depan Markas, membentang selebar 10 meter dipisahkan median jalan berupa tembok setinggi setengah meter.

Malam itu cuma ada satu Pleton minus atau sekitar 20-an pasukan Brimob di Markas Kompi IV. Kebanyakan pasukan sedang latihan di Sibolangit untuk persiapan operasi ke Aceh. Maka ketika markas ditembaki, sebagian besar Brimob memilih bersembunyi.

Rumah penduduk dan jalan depan Markas tampak gelap ketika truk Dyna mendekati Markas. Tak ada yang mencurigakan. Tapi mendadak rentetan tembakan terdengar keras. Tentara-tentara Linud ternyata bersembunyi di balik tembok median jalan. Mereka menghujani truk dengan tembakan.

“Rem Win!” teriak Chaniago.

Marwin diam tak bergerak. Kepalanya tertunduk ke arah stir truk. Truk terus melaju. Chaniago segera mengambil alih stir dan membanting arah ke kiri sehingga truk naik ke trotoar dan berhenti melintang menutup setengah badan jalan. Tak jauh dari situ, teronggok Suzuki Katana yang tadi pergi mendahului mereka juga. Tiga orang Brimob di dalamnya sudah lari menyelamatkan diri karena ditembaki tentara Linud.

Chaniago masih berusaha menarik Marwin. Tembakan terdengar lagi. Waktu itulah Chaniago sadar, kepala Marwin ditembus peluru. Darah membasahi wajah anggota Brimob yang baru berumur 23 tahun itu. Marwin tewas seketika.

Di bak belakang truk, jerit kesakitan mulai terdengar. “Tolong, Dan. Saya kena.” Dua belas anak buah Chaniago terkena tembakan.

Panik. Tak sempat membalas tembakan. Gaduh. Antara teriakan dan rentetan senjata. Chaniago berteriak, “Loncat kalian semua!”

Di seberang jalan, sambil terus menembak, tentara-tentara dari kesatuan Linud berkoar menantang, ”Ayo balas tembakan kami.”

Mereka sudah berdiri dan berjalan ke sana kemari sambil terus menembak. Para anggota Brimob berloncatan ke samping truk. Mereka merayap menghindari tembakan. “Cari perlindungan,” kata Chaniago.

Semua turun, masuk ke dalam markas Brimob, kecuali Marwin yang tinggal tanpa nyawa dalam kabin truk Dyna

POLRES Binjai. Penyerangan berlangsung tanpa perlawanan. Sebagian tentara Linud tak begitu tertarik dengan situasi ini. Seorang tentara memberitahu, ”Aman, tak ada balasan.” Tembakan pun dihentikan. Mereka masuk ke dalam Markas Polisi. Mengobrak-abrik isi kantor. Membakar sejumlah sepeda motor dan mobil yang diparkir di halaman. Polisi tak tampak lagi. Sebagian bersembunyi dalam kolam ikan. Lainnya lari entah ke mana.

Seorang tentara datang memberi kabar. “Brimob datang dari Medan. Sekarang sedang kontak senjata di tugu.” Tugu ini terletak di tengah kota Binjai tempat terjadinya tembak-menembak pertama antara Linud dan Brimob. Sebagian besar tentara segera bergerak meninggalkan Polres Binjai menuju tugu dengan dua truk Reo. Amru ikut naik Reo bersama kawan-kawannya.

Kontak senjata sengit di tugu sudah terjadi antara pasukan Linud dan pasukan Brimob yang datang dari Medan. Beberapa pasukan Linud sempat terkena tembakan. Pasukan Brimob datang dengan sebuah panser, yang biasa disebut kendaraan taktis dan disingkat rantis. Panser Brimob ini menembakkan senjata otomatisnya tanpa arah. Kontak senjata antara Brimob dan Linud berlangsung lama.

Amru Daulay mengendap di samping rumah warga dekat Markas Brimob melihat panser itu melaju kencang. Senjata otomatis di atas rantis masih terus berbunyi dengan arah tembakan memutar. Peluru rantis itu sebesar jempol kaki. Amru terjatuh dari tembok untuk menghindari peluru rantis yang berterbangan tak tentu arah. Lututnya memar ketika melompati sebuah parit saat hendak membalas tembakan ke arah rantis. Tapi rantis itu telah pergi jauh kembali ke Medan, rupanya tak tahan dengan serangan Linud.

Tak lama sebuah truk Reo datang. Seorang tentara Linud turun dan berteriak, ”Hai, Para. Siapa yang punya golongan darah A?”

Para adalah sandi panggilan untuk anggota Linud. Tampaknya ada tentara yang terluka dan butuh donor darah.

Tak jelas berapa korban jatuh malam itu. Ambulance rumah sakit, yang diminta untuk mengevakuasi pasukan Brimob yang terluka, tak dapat mendekati lokasi pertikaian. Ambulance yang datang dari Medan itu tertahan di simpang jalan masuk Markas Arhanud Rudal 11 Binjai, sekitar 500 meter sebelum Markas Brimob Binjai.

Di sana sejumlah prajurit Arhanud memblokir jalan, supaya tak ada orang sipil yang mendekati lokasi. Di situ pula sejumlah wartawan media cetak, dotcom, radio dan televisi dari Medan, bertahan sepanjang malam memantau situasi. Keadaan mencekam. Warga yang rumahnya berdekatan dengan Markas Brimob tiarap sepanjang malam dalam rumah mereka.

Beberapa mobil warga yang kebetulan melintas dalam kota Binjai ditembaki tentara. Korban sipil pun berjatuhan. Tak ada upaya keras untuk menghentikan aksi brutal pasukan Linud. Amru Daulay sempat mendengar kabar dari temannya, “Sebentar lagi panser yang membawa Pangdam datang. Jangan ditembaki.”

Tapi tak pernah ada Mayor Jenderal M. Idris Gassing datang ke lokasi malam itu. Panser Kaveleri yang datang dari Medan hanya melintas begitu saja. Pejabat dari Kodam Bukit Barisan yang turun ke lapangan hanya Asisten Intel Kolonel Iwan Prilianto yang tak mampu berbuat banyak.

Sepanjang malam itu, tembakan terus terjadi. Kalau pun mereka berhenti hanya setengah jam. Tentara Linud duduk-duduk di jalan. Mereka bertahan menguasai kota Binjai hingga Senin pukul 06.30 pagi.

Ketika cuaca mulai terang, tentara Linud melakukan pembersihan lokasi pertempuran. Maka mereka yang tadinya bertahan di jalan, mulai masuk ke Markas Brimob. Kantor bagian depan dalam keadaan hancur karena ditembaki dengan senjata otomatis dan senjata berat. Mereka pun membakar kantor berikut kendaraan dalam halaman, termasuk Suzuki Katana dan truk Dyna yang melintang di jalan. Asap hitam tebal mengepul ke langit.

Tentara mulai menyingkir ketika warga mulai ramai keluar rumah pagi itu. Sementara 20-an pasukan Brimob mulai berdatangan dari Medan. “Balik. Orang-orang sudah banyak,” teriak seorang tentara. Mereka secara berkelompok menarik diri dengan jalan kaki. Sesekali mereka melepaskan tembakan.

Pasukan Brimob yang datang dari Medan jalan kaki sambil menyisir jalan menuju Markas Brimob Binjai. Mulailah mereka menemukan korban-korban. Tubuh Marwin Santosa ditemukan tergeletak di badan jalan, tak jauh dari truk Dyna yang terbakar. Entah siapa yang menurunkannya. Uang dan telepon selularnya hilang.

Tito Yudha Darma dan Ilham tergeletak tak bernyawa di sebuah jalan kecil di samping Markas Brimob. Seorang rekan mereka sempat membawa keduanya yang terluka malam itu ke arah Markas. Tapi melihat banyak tentara Linud depan Markas, Tito dan Ilham ditinggal pergi, hingga tewas kehabisan darah.

Heri Kurniawan ditemukan di depan Masjid Agung Binjai di sekitaran tugu. Sementara sekitar 20 anggota Brimob yang luka tembak keluar dari tempat persembunyian mereka. Dalam keadaan emosi melihat teman-temannya tewas dan luka, pasukan Brimob menganiaya Prajurit Kepala Purwanto, anggota Arhanud Rudal, yang kebetulan berdiri di jalan ketika Brimob masuk ke Binjai. Purwanto ditembak mati. Purwanto sama sekali tak terlibat dalam penyerangan itu.

Senin pagi itu, ketegangan belum berakhir. Di Polres Binjai yang kosong, puluhan warga menjarah barang-barang berharga milik kantor. Hiruk pikuk. Pintu penjara bobol. Sebanyak 61 tahanan melarikan diri.

Lewat pukul tujuh, Kepala Polres Ajun Komisaris Besar Polisi HM Mulyi Karnama memerintahkan anak buahnya mencari perlindungan ke pendopo Walikota dekat lapangan Merdeka. Maka bergeraklah 40 Polisi ke sana, menyusuri gang-gang sempit belakang rumah penduduk, untuk menghindar dari tentara Linud yang masih bertahan di pusat kota. Mereka dalam keadaan takut. Para polisi itu tak dilatih berperang. Mereka dilatih menghadapi warga sipil. Tak disangka, tentara Linud ternyata ada dekat rumah walikota. Maka mereka pun ditembaki lagi.

Dalam panik, sebagian besar polisi terjun ke sungai. Tak ada yang sadar, Brigadir Polisi Ridwan M Hayat dan Brigadir Satu Satria Sembiring, terbawa arus sungai dan tewas

Dampak Bentrokan dan Pertanggungjawaban.

SABTU 2 November lalu saya menjumpai Sersan Dua Amru Daulay di Detasemen Polisi Militer Medan tempat dia ditahan sejak kerusuhan Binjai. Abdul Rahmat dan Hilman masih di rumah sakit.

Selama masa penyidikan itu, hanya istri, anak dan orangtua, yang boleh datang menjenguk. Hari itu saya datang dengan mengaku sebagai teman istrinya. Secara sembunyi-sembunyi saya mewawancarai Amru Daulay, walau akhirnya ketahuan piket jaga. Buntutnya saya diperiksa provost selama empat jam lebih.

Kesan saya, pria berumur 28 tahun ini, tak terlihat seperti tentara kebanyakan yang bertubuh tinggi dan gagah. Baju yang dipakainya kaos lusuh dan celana panjang coklat. Wajahnya tak begitu bersemangat. Jenggot dan kumisnya tampak sudah lama tak dicukur.

Amru menjalani rutinitas yang membosankan dipenjara. Dia sering suntuk. Dia senang ketika saya beri sebuah majalah. Selama di penjara, dia tak bisa melihat televisi dan membaca suratkabar.

Amru tak tahu bahwa kebanyakan media cetak di Medan dan Jakarta menyebutkan kasus penyerangan malam itu dilatarbelakangi masalah beking obat terlarang. Keterangan resmi dari polisi dan tentara mengatakan tentara Linud 100 berusaha melepaskan temannya yang ditangkap karena kasus obat terlarang. Bukan kasus pengrusakan rumah Great Wall. Abdul Rahmat disebut sebagai “beking Marwan.” Dalam wawancara dengan wartawan pada Minggu pagi, setelah peristiwa penyerangan Polres Binjai, Pangdam Bukit Barisan M Idris Gasing menegaskan, “Biasalah, urusan perut, beking-bekingan.”

Amru sendiri merasa yakin Abdul Rahmat tak terkait masalah beking-bekingan. “Saya kenal baik dengannya. Setahu saya dia tidak seperti itu,” kata Amru.

Kodam Bukit Barisan cenderung tutup mulut dalam kasus yang memalukan institusinya itu. Letnan Kolonel Nurdin Sulistyo mengatakan pada saya, mereka sedang berupaya mendinginkan situasi. “Anggota masih dalam keadaan panas di lapangan. Ada perintah dari atas untuk tidak mengeluarkan pernyataan yang bisa memicu hal-hal yang tak diinginkan,” jawabnya ketika saya tanya mengapa Mayor Madsuni ditegur Kodam karena wawancaranya dengan media massa terkesan membela anak buahnya.

Madsuni dan kelima Perwira Kompi Bataliyon Linud sudah dicopot jabatannya bersamaan dengan pemecatan Amru Daulay dan 19 temannya. Para perwira itu ditarik ke Kodam Bukit Barisan tanpa pekerjaan jelas.

Amru mengatakan pada saya, dia tak menduga akan dipecat, “Malam itu ada ratusan anggota Linud yang ikut menyerang. Saya tidak tahu kenapa hanya kami yang ditahan dan dipecat.”

Malam itu Amru merasa tak menembak orang. Dia tak melihat ada korban manusia dekatnya. Dia mengaku hanya menembaki kantor polisi dan panser Brimob. Amru tak bilang siapa temannya yang menembak para korban. “Kami dikambinghitamkan. Mereka yang menembak masih berkeliaran di luar sana.”

Sehari setelah penyerangan, semua prajurit Linud dikumpulkan di aula Markas mereka. Ada pemeriksaan oleh tim dari Kodam Bukit Barisan. Prajurit-prajurit yang terlibat penyerangan diminta maju ke depan dan bercerita pengalamannya malam itu.

Prajurit Satu Hermansyah adalah tamtama pertama yang mengakui perbuatannya. Hermansyah anak buah Amru Daulay. Ketika ditanya siapa bintara pertama yang ikut menyerang, Amru tanpa pikir panjang maju ke depan, disaksikan teman-temannya yang terpelongo. Tak banyak prajurit yang mau membuat pengakuan secara berani. Kebanyakan memilih diam.

Rabu 2 Oktober itu, ketika Amru dan seluruh pasukan berangkat apel, tak sedikitpun terbersit dibenaknya akan dipecat dengan tidak hormat dari kesatuan Linud 100. Amru Daulay dan 19 prajurit Linud yang membuat pengakuan, termasuk Abdul Rahmat dan Hilman yang luka tembak, dipecat langsung oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu. Dari Jakarta terbang langsung ke Medan, Ryacudu mencopot langsung baju dinas mereka. Ryacudu juga membekukan seluruh kegiatan Bataliyon selama setahun. Seluruh persenjataannya ditarik ke Kodam Bukit Barisan.

Ryacudu sangat marah dan menganggap penyerangan itu merusak citra Angkatan Darat. Dia menganggap tindakan itu “pengecut.” Dalam apel Ryacudu berpidato, “Apakah kamu tahu bahwa perwira Brimob yang kemarin tertembak adalah anak seorang pejabat TNI AD di Mabes TNI?” Perwira yang dimaksud adalah Inspektur Dua Tito Yudha Darma, putra Kolonel Riswan, kepala perlengkapan Kodam Jakarta Raya. Ryacudu juga marah pada Idris Gassing dan koleganya di Bukit Barisan. “Apa saja kerja Anda di sini hingga terjadi perang? Mengapa sampai ada senjata yang dikeluarkan? Memangnya lagi perang?”

Idris Gassing memang terkesan tak melakukan upaya apapun malam itu. Menurut Nurdin Sulistyo, Pangdam Gassing sepanjang malam itu ada di Markas Kodam Bukit Barisan, tanpa merinci apa saja yang dilakukannya ketika prajurit Linud menyerang Polisi. Pada 7 November lalu Gassing juga dicopot dari jabatannya dan dipindahkan ke Jakarta tanpa pekerjaan jelas.

Amru tak pulang lagi ke Bataliyon Linud setelah pemecatan. Hari itu juga dia masuk sel tahanan. Di asrama Linud, Nur Asiah, yang tak berjumpa dengan suaminya sejak ulangtahun Ayu Daulay, menangis-nangis ketika tahu suaminya dipenjara.

Menurut Nur Asiah, yang saya temui di asrama Linud, suaminya bilang padanya di penjara, ”Nggak apa-apa, Mak Ayu. Sabar aja. Mungkin sudah garis tangan ayah begini. Ayah salah karena bela teman. Kita jalani dulu prosesnya.”

“Dari kawan-kawannya saya tahu juga. Dia bilang dirinya yang menjadi pemanas kawan-kawannya supaya mau bergerak,” kata Nur.

Di Mahkamah Militer, 20 anggota Linud itu disidang dalam dua kelompok: kelompok Abdul Rahmat yang terlibat dalam keributan Sabtu malam di Polres Binjai dan kelompok Amru Daulay yang terlibat dalam penyerangan malam kedua.

“Amru itu kebanggaan keluarga kami. Almarhum ayahnya selalu membanggakan Amru pada siapa pun. Suami saya bilang sejak Amru jadi tentara rasanya derajat keluarga kami terangkat. Orang-orang tidak sembarang lagi sama keluarga kami. Kami punya pelindung sekarang,” kata Rosma boru Hasibuan di rumahnya di Limau Sunde.

Rosma menasehati saya, “Kalau ibu punya anak, masukkan dia ke tentara. Dia akan jadi anak berbakti pada ibu.”

Amru memang penurut pada mamaknya. Ketika bujangan hidupnya agak nakal, terkadang ikut teman-temannya mabuk. Tapi Amru berubah total ketika berumah tangga. Apalagi setelah ikut pendidikan lagi untuk syarat naik pangkat jadi Sersan. Sebagai seorang Sersan Dua, gaji Amru Rp 800.000 per bulan setelah dipotong sana-sini. Untuk membeli televisi, kursi tamu dan sepeda motor, Amru minta pada mamaknya.

Tapi Amru tak pernah lupa dengan cita-cita terbesarnya: jadi orang kaya. Tapi dia juga tahu bahwa tak mungkin kaya jika jadi tentara. Takdir memutuskan lain. Amru bukan saja tak jadi kaya tapi dikeluarkan dari ketentaraan. “Kalau saja kawan kami tidak ditembak, mungkin kami tidak akan melakukan penyerangan itu,” katanya.

*Dipublikasikan Majalah PANTAU Jakarta Desember 2002

Dampak Langsung

Medan, Kompas - Sebanyak enam perwira di lingkungan Batalyon Lintas Udara (Linud) 100/Prajurit Setia (PS) dicopot jabatannya dan 20 anggota berpangkat Bintara dan Tamtama diberhentikan secara tidak hormat sebagai buntut dari insiden Binjai. Selanjutnya, Komando Batalyon diambil alih oleh Panglima Kodam I Bukit Barisan dan semua aktivitas pasukan pemukul elite tersebut dibekukan selama setahun.

Pencopotan dan pemberhentian secara tidak hormat tersebut dilakukan dalam sebuah apel luar biasa yang dipimpin langsung oleh Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Ryamizard Ryacudu, di halaman Markas Komando Daerah Militer (Kodam) I Bukit Barisan, Medan, Rabu (2/10/2002). Acara tersebut dihadiri pula oleh Gubernur Sumatera Utara (Sumut) T Rizal Nurdin.

Dalam amanatnya kepada para anggota Batalyon Linud 100/PS, KSAD mengatakan, perbuatan yang dilakukan para anggota Batalyon Linud 100/PS itu sebagai perbuatan gerombolan yang mengatasnamakan TNI dan justru mengkhianati sumpah prajurit.

"Apa yang kalian lakukan pada kejadian itu sangat berdampak buruk pada TNI Angkatan Darat, dan apa yang kalian lakukan bukan hanya harus dipertanggungjawabkan oleh kalian sendiri, tetapi juga menjadi tanggung jawab TNI," kata Ryamizard, yang sempat kehilangan kata-kata karena menahan emosi dan terdiam cukup lama di tengah-tengah amanatnya.

Apel luar biasa yang diikuti oleh seluruh kesatuan di jajaran Kodam I Bukit Barisan itu diawali dengan pencopotan tanda jabatan enam perwira Batalyon Linud. Keenam perwira itu adalah Komandan Batalyon Mayor Madsuni, Komandan Kompi Markas Letnan Satu (Lettu) Syawal, Komandan Kompi Bantuan Lettu Dwi Swarno, Komandan Kompi A Lettu Putra Widya Winaya, Komandan Kompi B Lettu Singgih Pambudi, dan Komandan Kompi C Lettu Rafiola. Mereka selanjutnya akan bertugas sebagai perwira menengah dan perwira pertama di Markas Kodam I Bukit Barisan.

Sedangkan 20 anggota Linud yang terdiri atas prajurit Bintara dan Tamtama diberhentikan secara tidak hormat dari kedudukannya sebagai prajurit TNI. Mereka masing-masing dikawal oleh seorang polisi militer. KSAD mencopoti seluruh atribut dan melepaskan seragam mereka satu per satu.

Dibekukan


Kepada wartawan usai upacara tersebut, KSAD mengatakan selanjutnya Batalyon Linud dibekukan selama setahun. "Secara organisasi, Batalyon ini dinyatakan tidak aktif dan pimpinan saya serahkan pada Panglima. Tadinya Batalyon ini akan saya bubarkan, tetapi kemudian saya pertimbangkan lagi karena Batalyon ini adalah kebanggaan masyarakat Sumut," ujar KSAD.

Pertimbangan lainnya, lanjut KSAD, sebenarnya TNI masih kekurangan 20-30 Batalyon lagi, jadi kalau dibubarkan satu per satu akan merugikan TNI.

Menurut KSAD, setelah personel Batalyon Linud dibubarkan, pihaknya akan merekrut dan melatih anggota baru, baik Perwira, Bintara, maupun Tamtama. Sedangkan ke-20 anggota yang diberhentikan akan segera diproses hukum.

"Dua puluh orang itu yang nyata kelihatan terlibat dalam kejadian tersebut, sedangkan yang lain juga akan ditindak. Mungkin jumlahnya mencapai 100 atau 200 orang, tapi kalau memang perlu dipecat akan saya pecat," ujarnya.

Tragedi "Binjai Berdarah" Tahun 2002 VERSI 1

Kontak senjata di Binjai menyisakan duka bagi para keluarga korban. Mereka berharap, ada yang memperhatikan nasib anak-anak korban. 
 
Insiden berdarah saat anggota Batalyon Lintas Udara 100/Prajurit Setia menyerbu Polres Langkat dan Markas Brimob di Binjai (Sumut) menyisakan cerita duka. Apalagi, kontak senjata terjadi cukup lama, dari mulai Minggu (29/9) jam 23.00 hingga Senin (30/9) pukul 07.00. Syukurlah, sejak itu Binjai berangsur normal. Saat berita ini diturunkan Senin (7/10), suasana Binjai sudah aman.
Begitupun, masih ada beberapa warga yang belum berani melepas anak-anaknya ke sekolah. Suasana ketakutan masih terlihat di asrama Polres Langkat yang dihuni 22 keluarga. Asrama ini terletak di belakang Polres. "Situasi waktu itu seperti perang saja. Sampai sekarang kami masih dicekam ngeri," kata salah seorang ibu.
Insiden itu menelan sejumlah korban. Salah satunya, Brigadir Ridwan Bin Ayat (42), yang ditemukan tewas Senin (30/9). Kesedihan amat dirasakan sang istri, Fatimah Boru Simanjuntak (45). Ibu tiga anak ini masih ingat, pagi setelah insiden meletus, "Suami saya menyuruh anak-anak masuk rumah."
Setelah itu, lanjut Fatimah, sang suami pergi. Mengingat situasi masih rawan, Fatimah dan anak-anaknya ikut rombongan anggota Polri menyelamatkan diri. Namun, begitu berada di tempat aman, "Saya dikontak seorang personel Polri. Mereka menyuruh saya pulang."
 
KUE ULANG TAHUN
Sepanjang jalan pulang, Fatimah khawatir sesuatu yang buruk menimpa suaminya. Namun ia berusaha tenang. Toh, pikirnya, pertempuran telah usai. Tak tahunya, "Di rumah saya dikabari, suami saya telah meninggal. Di kepalanya ada luka," cerita Fatimah dengan tersendat-sendat.
Akan tetapi hari itu jasad Ridwan belum bisa dipulangkan. Keesokan harinya Selasa (1/10) barulah jenazah sampai di rumah dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Binjai.
Apa yang menimpa Ridwan? Menurut kabar yang didengar Fatimah, pagi itu sekitar 30 personel Polri berkumpul di Polres mencari perlindungan ke rumah dinas walikota. Akan tetapi, "Sekitar pukul 10.00, mereka masih dihadang tentara. Para personel Polri lari menyelamatkan diri. Ada yang ke kebun lada di belakang asrama. Ada yang ke rumah dinas walikota. Untuk ke sana harus menyeberang Sungai Bingel. Nah, suami saya termasuk yang nyebur sungai."
Fatimah menduga, bisa jadi karena kecapekan berlari, kondisi suaminya menurun dan tenggelam saat berenang. "Sebenarnya ada satu temannya yang berusaha menolong, tapi gagal. Ya, sudah nasib suami saya harus meninggal dengan cara seperti itu," sesal Fatimah.
Kepergian Ridwan merupakan pukulan teramat berat bagi Fatimah yang masih harus menyekolahkan Rudiyanto (20), Kristina Julianti (17), dan Lily Karrtika Sari (15). "Entahlah, apa masih bisa saya mengantar anak-anak mencapai cita-citanya. Mereka ada yang mau jadi dokter. Terus si bungsu ingin jadi polisi. Dari mana nanti biayanya?" ujar Fatimah gundah.
Si bungsu Lily juga tampak terguncang. Terlebih ia amat dekat dengan ayahnya. "Tahun lalu, Ayah minta dibuatkan kue ulang tahun empat tingkat. Nah, tanggal 27 Oktober nanti saat ulang tahun ke-42 Ayah, kami mau membuatkan kue ulang tahun bertingkat. Ayah sudah bilang, kue yang paling atas untuk Lily," paparnya. 
 
TAK MALU KE PASAR
Duka cita dirasakan pula oleh Fatmawati (42) yang kehilangan suaminya, Rusli Mandai (45). Tragisnya, Rusli bukanlah polisi. Ia adalah pegawai sipil. Ibu dua anak ini terakhir bertemu suaminya, Minggu (29/9) malam. "Dia menghadiri undangan perkawinan anak salah satu anggota Persatuan Tujuh Koti di Pangkalan Brandan," cerita Fatmawati kepada NOVA di rumahnya, Jln. Ismailiyah, Medan Rabu (4/10).
Fatmawati masih ingat, suaminya berangkat bersama rekan-rekannya dengan tiga mobil. Kabar yang didengar Fatmawati, begitu pesta selesai, Rusli dan kawan-kawannya kembali ke Medan pukul 01.00. Namun di tengah perjalanan ke arah Binjai mobil distop personel TNI. "Sopirnya sempat minta ampun dan mengatakan mereka hanya warga sipil."
Namun, lanjut Fatimah, para oknum TNI itu tetap menembaki mobil. “Peluru mengenai kaki, kepala, dan badan suami saya. Dari tiga orang dalam mobil itu, hanya suami saya yang tewas," cerita Fatmawati sembari terisak-isak.
Awalnya Fatmawati mendengar suaminya kecelakaan. Begitu sampai di rumah sakit dan melihat keadaan Rusli, "Menjeritlah saya. Kenapa suami saya mesti ditembak? Apa salah dia?" ratapnya.
Kembali Fatmawati larut dalam duka. Wajahnya sembap. "Ya, Allah mengapa begitu cepat Kau ambil suami saya. Dia berangkat dari rumah dalam keadaan rapi, tapi sekarang..." Air mata Fatmawati pun makin deras mengalir.
Masih hangat dalam kenangan Fatmawati betapa suaminya begitu menyayangi anak-anaknya. "Dia sangat memperhatikan anak-anak. Segala keperluan anak-anak selalu dia perhatikan. Bahkan dia tak malu ke pasar membelikan kain strimin untuk pelajaran prakarya anak-anak. "
Kendati demikian, Fatmawati tak mau terlalu lama larut dalam duka. Ia berjanji akan mengantarkan dua anaknya, Nova Rosalina (15) dan Linda Yani (12) meraih cita-citanya. "Suami saya sudah tenang. Tinggal saya yang harus meneruskan tanggung jawab ini. Tapi apa saya sanggup?" sambatnya di tengah sedu sedan. "Mudah-mudahan bapak-bapak yang berwenang mau menolong memperhatikan anak-anak saya," harapnya.
 
LUKA DITUTUP KAIN
Salah satu korban selamat peristiwa ini adalah M. Nazir Remo (43). Saat kejadian, bapak tiga anak ini sedang berdagang rokok dan minuman di warungnya di kawasan Tugu, Binjai. Akibat lukanya, ia dirawat di RSU Pirngadi, Medan. "Peluru di punggungnya sudah diambil," kata Ermy Fatnura (40), istri Nazir, saat menjaga suaminya, Jumat (4/10),
Dengan kondisi yang masih lemah, Nazir bisa menceritakan kembali peristiwa yang dia alami. "Mula-mula saya dengar suara-suara tembakan. Saya masih tenang, karena terdengarnya di kejauhan. Ternyata makin lama makin dekat. Sampai trafo utama dekat terminal meledak. Semua lampu pun mati. Suasana gelap."
Ketakutan, Nazir mencari tempat aman untuk tiarap. Ia juga meminta putrinya, Niken Handayani (15) yang menemaninya di warung untuk menyelamatkan diri. "Dia sampai di rumah dengan selamat." Sekian detik kemudian, sebutir peluru menerjang punggung Nazir. "Sakitnya sungguh tak terbayang. Saya lalu berusaha minta bantuan di pos penjagaan DLLAJR di terminal. Luka di punggung saya tutup dengan kain," cerita Nazir sambil sesekali meringis menahan sakit. Untung, seseorang di pos penjagaan itu bersedia melarikannya ke rumah sakit.
Nazir bersyukur, luka tembakan itu tak berakibat fatal. Ia juga sedikit terhibur ketika Sabtu (5/10) lalu sejumlah pejabat TNI menjenguk dirinya serta korban lain di RSU Pirngadi. "Kami dijanjikan akan mendapat penggantian biaya perawatan," ujar Nazir yang berharap kelak peristiwa serupa jangan sampai terulang kembali.

BERMULA DARI PERUSAKAN RUMAH
Bentrokan ini bermula ketika rumah A Tiong, warga Jln. Patimura, Binjai, Sabtu (28/9) pagi didatangi segerombolan pemuda. "Saya enggak tahu mereka siapa," kata A Tiong.
Para pemuda itu datang dengan membawa palu, cangkul, dan parang. Mereka merusak bagian samping rumah A Tiong. Melaporlah kemudia A Tiong ke Polres Langkat. "Kami kemudian berhasil menangkap Marwan alias Wawan yang diduga kuat ikut merusak rumah A Tiong," kata Kapolres Langkat AKBP Maman pada wartawan, Senin (30/9).
Saat ditangkap, "Marwan juga kedapatan membawa beberapa butir ekstasi di saku celananya." Belum sehari Wawan ditangkap, Kasatserse Polres Langkat, AKP Togu Simanjuntak kedatangan dua tamu yang mengaku anggota Linud 100/PS. "Yang seorang bernama Praka Arman. Keduanya minta Wawan dibebaskan. Namun permintaan mereka ditolak," kata Maman.
Merasa usahanya gagal, "Arman datang lagi tapi dengan mengajak rekan-rekannya. Dia mengatakan, ada anggota Linud ditahan di Polres Langkat tanpa sebab," lanjut Maman. Menurut Maman, sekitar 20 puluh anggota Linud mendatangi Mapolres dengan sepeda motor, bersenjatakan parang dan
sangkur. "Tetap saja Wawan tidak bisa dibebaskan. Apalagi dia terkena pasal
narkoba."
Masih cerita Maman, setelah terjadi adu mulut, salah seorang anggota Linud menyerang Togu dan rekannya, Ipda M Simbolon dengan sangkur. "Untuk menolong Togu, beberapa anggota melepas tembakan yang melukai Praka Arman dan Praka Ilman. Khawatir dapat serangan balasan, anggota Polres lantas mengontak Brimob Binjai. Begitulah, hingga akhirnya terjadi bentrok senjata lebih luas."