Tahun 2002 lalu
Rosma boru Hasibuan lega melihat putera sulungnya muncul di ambang
pintu. Baju pemuda tanggung itu dekil. Di tangan kanannya ada sebungkus
pecal yang tadi dibelinya di pasar. Amru Daulay berkelahi lagi dengan
anak-anak kampung tetangga.
Rosma mendengar Amru berkelahi dari si bungsu Razali Daulay. Kata
Razali, sang abang dikeroyok beberapa anak kampung Payah Roba, dekat rel
kereta api yang membatasi Payah Roba dan Limau Sunde, kampung keluarga
Daulay. Perkampungan itu letaknya tak begitu jauh dari pusat kota Binjai
--sebuah kota ukuran sedang sekitar 22 kilometer barat Medan, Sumatera
Utara.
Tadinya Amru dan Razali naik sepeda berboncengan untuk membeli pecal.
Mereka dicegat sekelompok anak yang bermusuhan dengan Amru. Razali kecil
pulang awal. Abangnya mengatakan, “Kau pergi selamatkan sepeda kita
ini. Biar aku hantam mereka!”
Amru tak terluka, tapi menurut Rosma kepada saya belum lama ini, Amru
kalah dalam perkelahian tak berimbang itu, pun begitu masih sempat pula
dia membeli pecal untuk lauk mereka sore itu.
Amru dan Razali cuma dua bersaudara. Ayah mereka Sangkot Daulay, seorang
penjual ikan atau terkadang membawa becak mesin. Rosma lebih besar
penghasilannya. Dia punya gaji sebagai guru dan punya kebun coklat serta
pisang setengah hektar.
Sejak sekolah dasar Amru sering berkelahi. Meski nakal di luar rumah,
Amru lebih patuh pada ibunya ketimbang Razali yang cenderung manja. Amru
gampang terpengaruh teman. Dia tidak menolak jika diajak berantem
dengan anak-anak lain. Atau membolos sekolah teknik menengahnya untuk
jualan ikan tanpa sepengetahuan orangtua. Keinginan Amru paling besar
adalah jadi orang kaya.
Dalam kekesalannya, Amru pernah berkata pada ibunya, “Aku Mak, kalau
tamat STM nih, aku masuk tentara saja. Biar orang tak sembarangan lagi
sama aku dan keluarga kita.”
Kini Amru Daulay memang berhasil jadi tentara dengan pangkat Sersan Dua
di Bataliyon Lintas Udara (Linud) 100/Prajurit Setia (PS) yang bermarkas
di Namu Sira-Sira, Binjai. Dia komandan regu pada Kompi Senapan A
dengan anak buah sembilan orang.
Bataliyon Linud 100 merupakan pasukan pemukul Komando Daerah Militer
(Kodam) Bukit Barisan yang bermarkas di Medan. Pasukannya mempunyai
spesialisasi menyerang musuh dari udara. Mereka menyergap dengan cara
terjun melalui helikopter atau pesawat. Mereka dianggap pasukan elit
karena kemampuan tempurnya tinggi. Jumlah pasukannya sekitar 700-an
personil. Nama “Prajurit Setia” diartikan sebagai bentuk kesetiaan
mereka pada Nusa dan Bangsa.
Amru selalu membanggakan kemampuan menembaknya. Tapi keterlibatannya
dalam peristiwa memalukan 30 September lalu justru mengakhiri karir
tentaranya. Dia dan 19 temannya mendekam di rumah tahanan militer Medan.
Sersan Dua Amru Daulay bersama ratusan prajurit Linud 100, pada Minggu
dini hari itu, menyerang Markas Polisi Resort (Polres) Binjai dan
Brigade Mobil (brimob) Binjai. Beda dengan perkelahian kampung, kali ini
Amru justru mengeroyok Polisi dalam sebuah aksi bak perang sungguhan.
Menurut jurubicara Kodam Bukit Barisan Letnan Kolonel Nurdin Sulistyo,
dalam pertikaian tak berimbang itu, empat anggota Brimob, dua Polisi,
satu tentara dari Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) dan tiga warga
tewas. Puluhan lainnya luka-luka.
SABTU 28 September lalu adalah hari ulang tahun pertama Ayu Daulay,
putri satu-satunya Amru Daulay dan Nur Asiah, perempuan berusia 23 tahun
yang dinikahi Amru tiga tahun lalu. Tak ada pesta, kecuali acara potong
kue dan doa selamat dari kedua keluarga mereka yang berkumpul di rumah
mertua Amru di Payah Roba.
Amru baru seminggu kembali dari kursus militer di Pematang Siantar. Tiga
minggu dia meninggalkan keluarganya. Ini hal biasa bagi seorang tentara
untuk pergi jauh untuk tugas. Antara 1999-2000, saat umur Ayu tiga
bulan, Amru pergi ikut operasi militer setahun di Aceh. Ketika pulang,
putrinya sudah bisa berjalan. Amru bahkan tak sempat melihat Sangkot
Daulay meninggal.
Malam itu juga ada pesta pernikahan salah seorang anggota Bataliyon
Linud 100 di Pasar Sepuluh, Tandem, sebuah kawasan pinggiran Binjai.
Banyak tentara, termasuk Amru, datang dan bergadang hingga larut malam,
menikmati hiburan musik keyboard.
Di tengah pesta Amru mendengar kabar Prajurit Satu Abdul Rahmat dan
Prajurit Satu Hilman ditembak Polisi. Keduanya teman satu kompi Amru.
Menurut Amru Daulay dalam wawancara dengan saya di penjara militer,
keduanya dikabarkan kritis bahkan diisukan tewas. Kebanyakan tentara
yang ada di pesta itu marah. “Masak kita diam saja teman kita ditembak
polisi? Dimana harga diri kita?”
Polisi dan tentara biasa ribut, bukan saja di Binjai, tapi di banyak
tempat di seluruh Indonesia. Di Binjai kejadian itu juga bukan yang
pertama. Sebelumnya seorang anggota Linud dikeroyok lima Brimob karena
rebutan perempuan. Keributan juga pernah terjadi di sebuah kafe karena
urusan judi togel dan obat terlarang. Keributan-keributan kecil ini,
walau tak berbuntut panjang, toh menimbulkan kekesalan dan sentimen
antar korps.
Abdul Rahmat teman baik Amru. Mereka berteman akrab sejak pangkat Amru
masih prajurit rendahan. Mereka tinggal di barak lajang dan sama-sama
merasakan kerasnya latihan militer. Mereka juga merasakan ketegangan
antara hidup dan mati saat baku tembak dengan gerilyawan Gerakan Aceh
Merdeka.
Malam itu, Amru memutuskan pulang ke rumahnya di asrama Linud, tanpa
menjemput istri dan putrinya, yang tertinggal di rumah mertua. Dia gusar
mendengar kawannya ditembak polisi.
Penyebab Bentrokan
SABTU pagi, atau 12 jam sebelum pesta Pasar Sepuluh, sekelompok pemuda
meneror tiga rumah yang terletak di samping komplek perumahan mewah
Great Wall Binjai. Para pemilik rumah itu bersengketa dengan perusahaan
perumahan Great Wall. Logikanya, mereka tak bersedia pindah karena tak
sepakat dengan harga ganti rugi. Pemuda-pemuda itu anggota organisasi
kepemudaan Angkatan Muda Pembaruan Indonesia, sebuah onderbouw Partai
Golongan Karya. Mereka melempari rumah dan mengobrak-abriknya hingga
rusak berat.
Si pemilik rumah mengadu ke polisi dan menuduh Great Wall sebagai
dalangnya. Polisi bertindak dan menangkap empat orang pelaku: Alan, Zul
Irham, Imul, dan Marwan Rangkuti.
Marwan Rangkuti ditangkap di sebuah warung minuman, di simpang Rambung,
pada Sabtu sore. Simpang Rambung ini merupakan persimpangan jalan menuju
Markas Bataliyon Linud 100. Warung sederhana itu sering dijadikan
tempat mangkal anak-anak muda, untuk ngobrol sampai mabuk-mabukan.
Sabtu sore sekitar pukul enam, satu regu Polisi dengan mengendarai mobil
Daihatsu Taft dan Toyota Kijang datang menangkap Marwan Rangkuti.
Prajurit Satu Abdul Rahmat kebetulan ada di sana. Marwan kawan Abdul
Rahmat.
Dalam dakwaan jaksa militer pada persidangan Abdul Rahmat dan
kawan-kawan di Mahkamah Militer Medan, 6 November lalu, disebutkan
terjadi perselisihan ketika Marwan ditangkap. Abdul Rahmat spontan
mendatangi polisi, “Ada apa ini Bang?”
“Ini urusan polisi!” jawab salah seorang polisi.
“Saya juga anggota. Dari Linud. Apa masalahnya?”
“Nggak ada Linud-Linud disini. Mau kupanggil Brimob?” hardik polisi Brigadir Satu Handoko.
Handoko, salah seorang serse Polres Binjai. Dia tanpa basa-basi langsung mengeluarkan pistol dan melepaskan tembakan ke udara.
Abdul Rahmat lari dengan sepeda motornya. Dia merasa marah karena merasa
diremehkan. Dia pulang ke Bataliyon mencari sejumlah teman dan mengajak
mereka mendatangi polisi yang menangkap Marwan.
Pukul 20.30 dengan naik lima sepeda motor, Abdul Rahmat dan sembilan
anggota Linud mendatangi Polres Binjai. Kantor polisi tak begitu ramai
karena sudah malam tapi sejumlah Serse dan Polisi jaga masih ada di
sana.
Abdul Rahmat dan empat temannya masuk. Lima lainnya menunggu dekat pos jaga. Mereka berpakaian biasa dan membawa senjata pisau.
Kedatangan mereka memicu kegaduhan. Mereka mencari Handoko. Tapi Handoko
tak ada. Polisi lain berkeluaran dari ruang kerja mereka.
Seorang anggota Linud berteriak, ”Mana kawan kami? Keluarkan si Marwan.”
Marwan ada dalam sel. Malam itu dia ditahan karena dalam pemeriksaan,
polisi juga menemukan sembilan butir pil ecstasy dalam saku celananya.
Alan, Imul dan Irham sudah dilepas beberapa jam sebelumnya.
Terjadi adu mulut dan semua berlangsung cepat hingga salah seorang
tentara menyambarkan pisaunya ke tangan Inspektur Dua Haris Simbolon,
seorang anggota Serse yang mencoba menghalangi rombongan itu membebaskan
Marwan.
Mendengar ribut-ribut, kepala satuan Serse Ajun Komisaris Polisi Togu
Simanjuntak keluar dan mendatangi sekelompok tentara yang sedang
marah-marah itu.
“Dari mana kamu?” tanya Simanjuntak marah sambil memukul Abdul Rahmat hingga jatuh.
Rahmat marah dan mencabut pisau yang terselip di pinggangnya.
Simanjuntak tak kalah gertak, cepat menyambar pistol. “Nanti kutembak kau,” ancamnya.
Abdul Rahmat justru mengayunkan pisau ke kepala Simanjuntak. Daun
telinga kiri Simanjuntak tersabet hingga nyaris putus. Simanjuntak
melepaskan tembakan ke arah kaki dan dada Rahmat. Dia roboh ke tanah.
Polisi lain beramai-ramai menendang dan menginjak tubuh Rahmat hingga
babak belur. Kedua kakinya patah dan giginya copot.
Melihat Rahmat jatuh, Prajurit Satu Hilman berusaha menolong, tapi salah
seorang polisi menembak lutut kirinya dari belakang. Hilman jatuh tapi
bisa melarikan diri bersama teman-temannya.
Polisi mengejar mereka sambil menembakkan pistol. Peluru kedua bersarang
di paha kanan Hilman. Tak sanggup lagi berlari, Hilman roboh dekat
Markas Polisi Militer, yang berjarak sekitar 100 meter dari Polres
Binjai. Sabtu malam itu, delapan tentara lain menyelamatkan diri entah
ke mana.
Linud Menyerang
SEPANJANG Minggu 29 September, markas Bataliyon Linud 100 tampak
lengang. Kebanyakan prajurit, terutama yang lajang, berada di luar
markas. Setiap Sabtu sore hingga Minggu malam, tentara di sana mendapat
izin bermalam di luar markas.
Markas Batalyon itu berada di desa Namu Ukur, kecamatan Namu Sira-Sira,
sebuah daerah pinggiran yang penduduknya didominasi orang Karo dan Jawa.
Namu Ukur berjarak 10,5 kilometer dari Binjai. Di sana banyak kebun
sawit, kelapa, dan karet.
Markas Linud 100/PS dilengkapi dengan kantor, asrama tinggal, dan
lapangan luas untuk latihan. Sekitar 700-an personilnya dibagi lima
kompi: Kompi Senapan A, Kompi B, Kompi C, Kompi Bantuan dan Kompi
Markas. Sekitar satu kompi pasukan Linud 100 saat itu sedang siap-siap
berangkat melakukan operasi di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara.
Akibat keributan Sabtu malam, ada instruksi dari Kodam Bukit Barisan
bahwa semua tentara tak boleh keluar Markas tanpa izin. Amru Daulay
mengatakan pada saya, sepanjang hari itu dia melihat melihat para
tentara di Markas Linud saling berkelompok di barak mereka, sibuk
membicarakan peristiwa penembakan Abdul Rahmat dan Hilman semalam.
Mereka tak bisa menerima perlakuan Polisi yang selama ini dianggap
meremehkan Korps mereka. Kebanyakan tentara Linud panas hatinya dan tak
rela jika terus berdiam diri. Sebuah rencana pembalasan pun dilakukan.
Amru sepakat dengan ide teman-temannya itu.
Seperti biasa, setiap Minggu pukul 21:00, seluruh prajurit melaksanakan
apel untuk pengecekan pasukan pulang yang sebelumnya izin bermalam.
Malam itu hampir semua prajurit ikut apel di halaman depan markas
lengkap dengan pakaian loreng hijaunya.
Komandan Batalyon Linud 100/PS Mayor Infanteri Madsuni, yang
diwawancarai sejumlah wartawan empat hari setelah peristiwa penyerangan
bercerita, dalam apel itu dia memberi pengarahan pada ratusan anak
buahnya tentang rencana pengiriman sekompi pasukan Linud ke perbatasan
Aceh dua hari mendatang. Dia juga menjelaskan peristiwa yang terjadi di
Polres Binjai dan memerintahkan pasukannya tak mengambil tindakan apa
pun. Persoalan itu diselesaikan para atasan mereka. “Kalau merasa saya
komandanmu, sebagai bapakmu, tolong ingat, jangan sampai ada anggota
yang keluar tanpa perintah saya,” katanya.
Tak ada prajurit yang membantah perkataan komandannya. Mereka
membubarkan diri. Sebagian ada yang kembali ke asrama mereka. Sebagian
lagi bertahan dekat barak Kompi Senapan A. Dalam dakwaan oditur militer
disebutkan para tentara itu bergerombol, membicarakan lagi rencana
pembalasan itu. Mereka akan menyerang Polres Binjai malam ini. Mereka
perlu senjata, tapi semua senjata di simpan di gudang.
Prajurit Satu Askar dan Prajurit Satu Syukir yang ada dalam kelompok itu
berteriak, “Harus kita balas. Tidak betul kalau tidak kita balas.”
Sersan Dua Jalaluddin, seorang Komandan Regu Kompi Senapan A, paling
bersemangat dengan rencana itu. Dia memberitahu Amru Daulay yang ikut
berkumpul di situ, “Pasukan siap.”
Mereka pun bergerak ke gudang senjata Kompi Senapan A. Lampu dipadamkan.
Dalam keadaan gelap, mereka menyekap Sersan Satu Hasbullah, kurir yang
bertugas menjaga gudang senjata. Kaki dan tangan Hasbullah diikat dengan
tali pinggang. Kunci gudang diambil dari saku celananya.
Pintu gudang pun dibuka. Seratusan tentara menyerbu masuk berebutan
mengambil senjata laras panjang secara serabutan: senapan serbu SS-1,
senapan mesin buatan Israel Minimi, dan Grenade Launching Machine (GLM)
lengkap dengan amunisi. Amru Daulay menyambar SS-1 dan mengambil 20
butir peluru.
Masih menurut oditur militer, Sersan Satu Jalaluddin melepaskan tembakan
satu kali ke udara. Dia memerintahkan Prajurit Kepala Bahtiar, yang
sedang piket, membunyikan alarm sira-sira.
Semua orang mendengar alarm itu mengaung-ngaung memecah kesunyian malam.
Prajurit-prajurit yang sudah pulang ke asrama kelabakan kembali ke
lapangan apel. Sebagian membuka gudang senjata di masing-masing kompi
untuk mengambil senjata. Sudah peraturan, jika alarm sira-sira berbunyi,
siapa pun prajurit dan di mana pun dia berada, harus segera berkumpul
dengan pakaian dan senjata lengkap. Alarm itu jadi semacam genderang
perang bagi mereka.
Hanya dalam hitungan menit, ratusan tentara bersenjata lengkap sudah
berkumpul di lapangan. Ketika lampu kembali menyala, enam truk tentara
sudah siap mengangkut pasukan.
Menurut Mayor Madsuni, dia sempat kebingungan mendengar alarm sira-sira.
Dipikirnya para prajurit hendak latihan. Tapi ketika melihat pasukannya
sangat banyak, hampir dua kompi lebih, baru dia sadar. “Apa ini? Ada
apa ini?” teriaknya melihat gudang senjata terbuka. Dia menghalangi
sejumlah prajurit yang mengambil senjata. Tapi mereka tak bisa
dibendung.
“Kalau Komandan tidak izin, silahkan tembak kami,” kata seorang prajurit kepada Madsuni.
“Selama ini kami disalahkan terus-terusan. Pokoknya kami tidak rela kawan kami ditembaki musuh.”
Madsuni tak bisa bergerak. Beberapa prajurit menyeretnya menjauh. Dia
mencari beberapa perwira komandan kompi untuk membendung jalan keluar
markas. “Oke, kita bendung di depan,” perintah Madsuni. Portal di mulut
masuk markas ditutup tapi dijebol anak buahnya yang marah.
Keadaan tak terkendali lagi. Prajurit-prajurit itu brutal. Mereka
bergerak spontan membentuk massa yang tak bisa dibendung. Tak jelas
siapa memimpin siapa. Kebanyakan karena ikut-ikut kawan karena
solidaritas. Mereka merasa bertindak benar karena berada pada posisi
membela kehormatan korps Lintas Udara yang diremehkan Polisi.
Pukul 22:15 truk pertama meninggalkan Markas Linud. Disusul truk-truk
lainnya. Jalan selebar lima meter itu menjadi ramai. Sebagian tentara
yang belum terangkut berinisiatif jalan kaki. Sebagai pasukan tempur
mereka punya kelebihan dalam hal infanteri, mampu berjalan sejauh 40
kilometer tanpa berhenti.
Amru Daulay yang berpakaian loreng lengkap dengan senjata ada di bak
belakang truk Reo bersama 20-an kawannya. Tujuan mereka menyerang Polres
Binjai. Sejumlah Perwira mengejar dengan motor trail tapi tanpa hasil.
Malam itu sebanyak dua kompi gabungan, kebanyakan dari Kompi Senapan A
dan Kompi B, bergerak ke luar Markas. Jumlahnya tak bisa dipastikan,
karena anggota kompi lainnya turut bergabung secara spontan. Mereka
diangkut dengan enam truk militer plus satu truk pengangkut kelapa sawit
yang kosong secara estafet. Mereka akan menyerang polisi. Peringatan
bahaya segera disampaikan Batalyon Linud ke Polres Binjai melalui
telepon.
Pukul 22:45 truk Reo yang ditumpangi Amru Daulay tiba di lapangan depan
poliklinik militer di Simpang Bangkatan. Markas Polres Binjai hanya
berjarak 100 meter dari situ. Tentara lainnya datang susul-menyusul.
Tentara-tentara itu melompat dari truk dan segera menyusun strategi
penyerangan. Ratusan tentara berkonsentrasi dekat Polres Binjai. Lainnya
menyebar ke titik-titik tertentu dalam kota Binjai, dengan naik truk
dan jalan kaki.
Binjai belum begitu sepi menjelang tengah malam. Beberapa kendaraan
masih berseliweran. Sejumlah pedagang rokok masih membuka kiosnya di
sudut-sudut jalan di kota. Tapi melihat tentara bersenjata lengkap
datang bergerombol mereka segera bersembunyi. Tentara itu menyuruh warga
sipil segera menyingkir karena akan ada “perang.”
Sebagian tentara memblokir jalan yang menghubungkan Polres Binjai dengan
markas Brimob Binjai, yang terpisah sekitar empat kilometer. Brimob
Binjai merupakan markas Kompi IV Batalyon A Satuan Brigade Mobil
Sumatera Utara. Markas mereka terletak di jalan utama yang menghubungkan
Binjai dan Medan. Logika para tentara yang memblokir itu adalah
kemungkinan datangnya bantuan dari Brimob bila sesama Polisi diserang di
Polres Binjai.
Polres Binjai adalah sasaran utama mereka. Seratusan tentara Linud
bergerak menyebar. Mereka mengendap dan bertiarap di balik pot-pot bunga
pinggir jalan sekitar Polres Binjai. Moncong senjata diarahkan ke
Markas Polisi yang letaknya agak masuk ke dalam. Markas Polisi itu
gelap. Polisi sudah tahu akan ada penyerangan dan bersembunyi dalam
markas. Jumlah mereka 50-an orang.
Seorang tentara melepaskan tembakan cahaya merah ke langit sebagai
tanda. Suara ledakan dari senjata pelontar membuka tembakan pertama,
menghantam atap markas polisi. Penyerangan dimulai. Tentara Linud 100
menembaki Markas dari luar. Peluru-peluru berhamburan seperti siraman
air, menghantam tembok, papan nama dan apa saja yang ada dalam kantor
polisi itu. Kaca jendela berpecahan. Sejumlah polisi sempat membalas
tembakan dengan pistol sebelum kucar-kacir melarikan diri.
Di kegelapan, Amru melihat teman-temannya menembaki Markas Polisi yang
terpaut 30 meter dari tempat mereka tiarap. Amru terdorong ikut
menembak. Satu, dua tiga, empat peluru berentetan ke luar dari moncong
senjatanya. Tak ada seorang pun Polisi yang tampak, maka bangunan kantor
menjadi sasarannya.
Bentrokan Pun Pecah!
MEDAN dan sekitarnya. Perintah siaga diumumkan di seluruh radio panggil
Polisi malam itu. Pesannya singkat, “Polres Binjai diserang Linud.” Di
markas besar Brigade Mobil, Jalan Wahid Hasyim, Medan, puluhan pasukan
Brimob siap sedia. Ada permintaan bantuan pasukan dari Polres Binjai.
Bantuan pertama datang dari Brimob Kompi IV Batalyon A Binjai. Pukul
23:40 iring-iringan truk dan mobil Suzuki Jimny yang membawa belasan
pasukan Brimob meluncur ke arah Polres Binjai. Markas Brimob Kompi IV
cuma berjarak satu kilometer dari bundaran tempat tentara Linud
berjaga-jaga sejak awal.
Maka kontak senjata pertama antara kedua pasukan tak terhindarkan.
Pertempuran itu tak berimbang. Tentara Linud di sekitaran bundaran tugu
lebih banyak jumlahnya. Truk Brimob menjadi bulan-bulanan peluru.
Dalam truk Brimob, Inspektur Dua Tito Yudha Darma, yang duduk di bagian
depan terluka parah. Menyusul tumbang Bharada Heri Kurniawan dan
Brigadir Satu Ilham terkena terjangan peluru. Truk Brimob itu pun
melarikan diri.
Pada pukul 24:00 iring-iringan Suzuki Katana, truk Dyna, dan mobil APC
(armed personnel carrier) atau mobil anti peluru yang membawa pasukan
Brimob keluar dari Medan menuju Binjai. Di atas truk Dyna terdapat 17
pasukan Brimob. Inspektur Dua Hardy Chaniago, Wakil Komandan Brimob
Kompi I Bataliyon A, mendapat telepon dari atasannya. Mereka
diperintahkan untuk mengevakuasi pasukan Brimob yang kabarnya ditembaki
tentara Linud. Chaniago duduk di bagian depan truk bersama supirnya
Bharada Marwin Santosa.
Marwin membawa truk itu kencang melaju ke arah Binjai. Jalan
Medan-Binjai terlihat sepi. “Pelan-pelan sedikit. Kalau dihadang kita
cepat berhenti,” kata Chaniago.
Melewati daerah Diski, saat melintasi tugu ucapan “Selamat Datang” kota
Binjai, ada tumpukan warga berdiri berkelompok di pinggiran jalan.
Mereka berteriak-teriak, melambaikan tangannya minta truk berhenti.
“Berhenti. Berhenti. Jangan masuk. Ada perang.”
Truk terus melaju. Mobil Suzuki Katana, yang membawa tiga orang Brimob,
sudah tak tampak karena berangkat lebih cepat dari mereka. Satu
kilometer menjelang markas Brimob Binjai, Chaniago berkata, “Marwin,
kita masuk ke Batalyon.”
“Ya, Dan.” Marwin segera memindahkan kaki ke pedal rem untuk
memperlambat laju truk. “Dan” singkatan kata “komandan” –sesuatu yang
lazim di kalangan polisi dan tentara Indonesia.
Di depan mereka, Markas Kompi IV Batalyon A Brimob Sumatera Utara, dalam
keadaan terang-berderang oleh lampu sorot yang ada di beberapa sudut
halaman. Markas itu dikelilingi lapangan luas. Hanya bangunan kantor dan
masjid kecil tampak depan Markas. Rumah-rumah prajurit berada jauh di
belakang. Di depan Markas, rumah penduduk berderet rapat. Jalan
Medan-Binjai di depan Markas, membentang selebar 10 meter dipisahkan
median jalan berupa tembok setinggi setengah meter.
Malam itu cuma ada satu Pleton minus atau sekitar 20-an pasukan Brimob
di Markas Kompi IV. Kebanyakan pasukan sedang latihan di Sibolangit
untuk persiapan operasi ke Aceh. Maka ketika markas ditembaki, sebagian
besar Brimob memilih bersembunyi.
Rumah penduduk dan jalan depan Markas tampak gelap ketika truk Dyna
mendekati Markas. Tak ada yang mencurigakan. Tapi mendadak rentetan
tembakan terdengar keras. Tentara-tentara Linud ternyata bersembunyi di
balik tembok median jalan. Mereka menghujani truk dengan tembakan.
“Rem Win!” teriak Chaniago.
Marwin diam tak bergerak. Kepalanya tertunduk ke arah stir truk. Truk
terus melaju. Chaniago segera mengambil alih stir dan membanting arah ke
kiri sehingga truk naik ke trotoar dan berhenti melintang menutup
setengah badan jalan. Tak jauh dari situ, teronggok Suzuki Katana yang
tadi pergi mendahului mereka juga. Tiga orang Brimob di dalamnya sudah
lari menyelamatkan diri karena ditembaki tentara Linud.
Chaniago masih berusaha menarik Marwin. Tembakan terdengar lagi. Waktu
itulah Chaniago sadar, kepala Marwin ditembus peluru. Darah membasahi
wajah anggota Brimob yang baru berumur 23 tahun itu. Marwin tewas
seketika.
Di bak belakang truk, jerit kesakitan mulai terdengar. “Tolong, Dan. Saya kena.” Dua belas anak buah Chaniago terkena tembakan.
Panik. Tak sempat membalas tembakan. Gaduh. Antara teriakan dan rentetan senjata. Chaniago berteriak, “Loncat kalian semua!”
Di seberang jalan, sambil terus menembak, tentara-tentara dari kesatuan Linud berkoar menantang, ”Ayo balas tembakan kami.”
Mereka sudah berdiri dan berjalan ke sana kemari sambil terus menembak.
Para anggota Brimob berloncatan ke samping truk. Mereka merayap
menghindari tembakan. “Cari perlindungan,” kata Chaniago.
Semua turun, masuk ke dalam markas Brimob, kecuali Marwin yang tinggal tanpa nyawa dalam kabin truk Dyna
POLRES Binjai.
Penyerangan berlangsung tanpa perlawanan. Sebagian tentara Linud tak
begitu tertarik dengan situasi ini. Seorang tentara memberitahu, ”Aman,
tak ada balasan.” Tembakan pun dihentikan. Mereka masuk ke dalam Markas
Polisi. Mengobrak-abrik isi kantor. Membakar sejumlah sepeda motor dan
mobil yang diparkir di halaman. Polisi tak tampak lagi. Sebagian
bersembunyi dalam kolam ikan. Lainnya lari entah ke mana.
Seorang tentara datang memberi kabar. “Brimob datang dari Medan.
Sekarang sedang kontak senjata di tugu.” Tugu ini terletak di tengah
kota Binjai tempat terjadinya tembak-menembak pertama antara Linud dan
Brimob. Sebagian besar tentara segera bergerak meninggalkan Polres
Binjai menuju tugu dengan dua truk Reo. Amru ikut naik Reo bersama
kawan-kawannya.
Kontak senjata sengit di tugu sudah terjadi antara pasukan Linud dan
pasukan Brimob yang datang dari Medan. Beberapa pasukan Linud sempat
terkena tembakan. Pasukan Brimob datang dengan sebuah panser, yang biasa
disebut kendaraan taktis dan disingkat rantis. Panser Brimob ini
menembakkan senjata otomatisnya tanpa arah. Kontak senjata antara Brimob
dan Linud berlangsung lama.
Amru Daulay mengendap di samping rumah warga dekat Markas Brimob melihat
panser itu melaju kencang. Senjata otomatis di atas rantis masih terus
berbunyi dengan arah tembakan memutar. Peluru rantis itu sebesar jempol
kaki. Amru terjatuh dari tembok untuk menghindari peluru rantis yang
berterbangan tak tentu arah. Lututnya memar ketika melompati sebuah
parit saat hendak membalas tembakan ke arah rantis. Tapi rantis itu
telah pergi jauh kembali ke Medan, rupanya tak tahan dengan serangan
Linud.
Tak lama sebuah truk Reo datang. Seorang tentara Linud turun dan berteriak, ”Hai, Para. Siapa yang punya golongan darah A?”
Para adalah sandi panggilan untuk anggota Linud. Tampaknya ada tentara yang terluka dan butuh donor darah.
Tak jelas berapa korban jatuh malam itu. Ambulance rumah sakit, yang
diminta untuk mengevakuasi pasukan Brimob yang terluka, tak dapat
mendekati lokasi pertikaian. Ambulance yang datang dari Medan itu
tertahan di simpang jalan masuk Markas Arhanud Rudal 11 Binjai, sekitar
500 meter sebelum Markas Brimob Binjai.
Di sana sejumlah prajurit Arhanud memblokir jalan, supaya tak ada orang
sipil yang mendekati lokasi. Di situ pula sejumlah wartawan media cetak,
dotcom, radio dan televisi dari Medan, bertahan sepanjang malam
memantau situasi. Keadaan mencekam. Warga yang rumahnya berdekatan
dengan Markas Brimob tiarap sepanjang malam dalam rumah mereka.
Beberapa mobil warga yang kebetulan melintas dalam kota Binjai ditembaki
tentara. Korban sipil pun berjatuhan. Tak ada upaya keras untuk
menghentikan aksi brutal pasukan Linud. Amru Daulay sempat mendengar
kabar dari temannya, “Sebentar lagi panser yang membawa Pangdam datang.
Jangan ditembaki.”
Tapi tak pernah ada Mayor Jenderal M. Idris Gassing datang ke lokasi
malam itu. Panser Kaveleri yang datang dari Medan hanya melintas begitu
saja. Pejabat dari Kodam Bukit Barisan yang turun ke lapangan hanya
Asisten Intel Kolonel Iwan Prilianto yang tak mampu berbuat banyak.
Sepanjang malam itu, tembakan terus terjadi. Kalau pun mereka berhenti
hanya setengah jam. Tentara Linud duduk-duduk di jalan. Mereka bertahan
menguasai kota Binjai hingga Senin pukul 06.30 pagi.
Ketika cuaca mulai terang, tentara Linud melakukan pembersihan lokasi
pertempuran. Maka mereka yang tadinya bertahan di jalan, mulai masuk ke
Markas Brimob. Kantor bagian depan dalam keadaan hancur karena ditembaki
dengan senjata otomatis dan senjata berat. Mereka pun membakar kantor
berikut kendaraan dalam halaman, termasuk Suzuki Katana dan truk Dyna
yang melintang di jalan. Asap hitam tebal mengepul ke langit.
Tentara mulai menyingkir ketika warga mulai ramai keluar rumah pagi itu.
Sementara 20-an pasukan Brimob mulai berdatangan dari Medan. “Balik.
Orang-orang sudah banyak,” teriak seorang tentara. Mereka secara
berkelompok menarik diri dengan jalan kaki. Sesekali mereka melepaskan
tembakan.
Pasukan Brimob yang datang dari Medan jalan kaki sambil menyisir jalan
menuju Markas Brimob Binjai. Mulailah mereka menemukan korban-korban.
Tubuh Marwin Santosa ditemukan tergeletak di badan jalan, tak jauh dari
truk Dyna yang terbakar. Entah siapa yang menurunkannya. Uang dan
telepon selularnya hilang.
Tito Yudha Darma dan Ilham tergeletak tak bernyawa di sebuah jalan kecil
di samping Markas Brimob. Seorang rekan mereka sempat membawa keduanya
yang terluka malam itu ke arah Markas. Tapi melihat banyak tentara Linud
depan Markas, Tito dan Ilham ditinggal pergi, hingga tewas kehabisan
darah.
Heri Kurniawan ditemukan di depan Masjid Agung Binjai di sekitaran tugu.
Sementara sekitar 20 anggota Brimob yang luka tembak keluar dari tempat
persembunyian mereka. Dalam keadaan emosi melihat teman-temannya tewas
dan luka, pasukan Brimob menganiaya Prajurit Kepala Purwanto, anggota
Arhanud Rudal, yang kebetulan berdiri di jalan ketika Brimob masuk ke
Binjai. Purwanto ditembak mati. Purwanto sama sekali tak terlibat dalam
penyerangan itu.
Senin pagi itu, ketegangan belum berakhir. Di Polres Binjai yang kosong,
puluhan warga menjarah barang-barang berharga milik kantor. Hiruk
pikuk. Pintu penjara bobol. Sebanyak 61 tahanan melarikan diri.
Lewat pukul tujuh, Kepala Polres Ajun Komisaris Besar Polisi HM Mulyi
Karnama memerintahkan anak buahnya mencari perlindungan ke pendopo
Walikota dekat lapangan Merdeka. Maka bergeraklah 40 Polisi ke sana,
menyusuri gang-gang sempit belakang rumah penduduk, untuk menghindar
dari tentara Linud yang masih bertahan di pusat kota. Mereka dalam
keadaan takut. Para polisi itu tak dilatih berperang. Mereka dilatih
menghadapi warga sipil. Tak disangka, tentara Linud ternyata ada dekat
rumah walikota. Maka mereka pun ditembaki lagi.
Dalam panik, sebagian besar polisi terjun ke sungai. Tak ada yang sadar,
Brigadir Polisi Ridwan M Hayat dan Brigadir Satu Satria Sembiring,
terbawa arus sungai dan tewas
Dampak Bentrokan dan Pertanggungjawaban.
SABTU 2 November lalu saya menjumpai Sersan Dua Amru Daulay di Detasemen
Polisi Militer Medan tempat dia ditahan sejak kerusuhan Binjai. Abdul
Rahmat dan Hilman masih di rumah sakit.
Selama masa penyidikan itu, hanya istri, anak dan orangtua, yang boleh
datang menjenguk. Hari itu saya datang dengan mengaku sebagai teman
istrinya. Secara sembunyi-sembunyi saya mewawancarai Amru Daulay, walau
akhirnya ketahuan piket jaga. Buntutnya saya diperiksa provost selama
empat jam lebih.
Kesan saya, pria berumur 28 tahun ini, tak terlihat seperti tentara
kebanyakan yang bertubuh tinggi dan gagah. Baju yang dipakainya kaos
lusuh dan celana panjang coklat. Wajahnya tak begitu bersemangat.
Jenggot dan kumisnya tampak sudah lama tak dicukur.
Amru menjalani rutinitas yang membosankan dipenjara. Dia sering suntuk.
Dia senang ketika saya beri sebuah majalah. Selama di penjara, dia tak
bisa melihat televisi dan membaca suratkabar.
Amru tak tahu bahwa kebanyakan media cetak di Medan dan Jakarta
menyebutkan kasus penyerangan malam itu dilatarbelakangi masalah beking
obat terlarang. Keterangan resmi dari polisi dan tentara mengatakan
tentara Linud 100 berusaha melepaskan temannya yang ditangkap karena
kasus obat terlarang. Bukan kasus pengrusakan rumah Great Wall. Abdul
Rahmat disebut sebagai “beking Marwan.” Dalam wawancara dengan wartawan
pada Minggu pagi, setelah peristiwa penyerangan Polres Binjai, Pangdam
Bukit Barisan M Idris Gasing menegaskan, “Biasalah, urusan perut,
beking-bekingan.”
Amru sendiri merasa yakin Abdul Rahmat tak terkait masalah
beking-bekingan. “Saya kenal baik dengannya. Setahu saya dia tidak
seperti itu,” kata Amru.
Kodam Bukit Barisan cenderung tutup mulut dalam kasus yang memalukan
institusinya itu. Letnan Kolonel Nurdin Sulistyo mengatakan pada saya,
mereka sedang berupaya mendinginkan situasi. “Anggota masih dalam
keadaan panas di lapangan. Ada perintah dari atas untuk tidak
mengeluarkan pernyataan yang bisa memicu hal-hal yang tak diinginkan,”
jawabnya ketika saya tanya mengapa Mayor Madsuni ditegur Kodam karena
wawancaranya dengan media massa terkesan membela anak buahnya.
Madsuni dan kelima Perwira Kompi Bataliyon Linud sudah dicopot
jabatannya bersamaan dengan pemecatan Amru Daulay dan 19 temannya. Para
perwira itu ditarik ke Kodam Bukit Barisan tanpa pekerjaan jelas.
Amru mengatakan pada saya, dia tak menduga akan dipecat, “Malam itu ada
ratusan anggota Linud yang ikut menyerang. Saya tidak tahu kenapa hanya
kami yang ditahan dan dipecat.”
Malam itu Amru merasa tak menembak orang. Dia tak melihat ada korban
manusia dekatnya. Dia mengaku hanya menembaki kantor polisi dan panser
Brimob. Amru tak bilang siapa temannya yang menembak para korban. “Kami
dikambinghitamkan. Mereka yang menembak masih berkeliaran di luar sana.”
Sehari setelah penyerangan, semua prajurit Linud dikumpulkan di aula
Markas mereka. Ada pemeriksaan oleh tim dari Kodam Bukit Barisan.
Prajurit-prajurit yang terlibat penyerangan diminta maju ke depan dan
bercerita pengalamannya malam itu.
Prajurit Satu Hermansyah adalah tamtama pertama yang mengakui
perbuatannya. Hermansyah anak buah Amru Daulay. Ketika ditanya siapa
bintara pertama yang ikut menyerang, Amru tanpa pikir panjang maju ke
depan, disaksikan teman-temannya yang terpelongo. Tak banyak prajurit
yang mau membuat pengakuan secara berani. Kebanyakan memilih diam.
Rabu 2 Oktober itu, ketika Amru dan seluruh pasukan berangkat apel, tak
sedikitpun terbersit dibenaknya akan dipecat dengan tidak hormat dari
kesatuan Linud 100. Amru Daulay dan 19 prajurit Linud yang membuat
pengakuan, termasuk Abdul Rahmat dan Hilman yang luka tembak, dipecat
langsung oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu.
Dari Jakarta terbang langsung ke Medan, Ryacudu mencopot langsung baju
dinas mereka. Ryacudu juga membekukan seluruh kegiatan Bataliyon selama
setahun. Seluruh persenjataannya ditarik ke Kodam Bukit Barisan.
Ryacudu sangat marah dan menganggap penyerangan itu merusak citra
Angkatan Darat. Dia menganggap tindakan itu “pengecut.” Dalam apel
Ryacudu berpidato, “Apakah kamu tahu bahwa perwira Brimob yang kemarin
tertembak adalah anak seorang pejabat TNI AD di Mabes TNI?” Perwira yang
dimaksud adalah Inspektur Dua Tito Yudha Darma, putra Kolonel Riswan,
kepala perlengkapan Kodam Jakarta Raya. Ryacudu juga marah pada Idris
Gassing dan koleganya di Bukit Barisan. “Apa saja kerja Anda di sini
hingga terjadi perang? Mengapa sampai ada senjata yang dikeluarkan?
Memangnya lagi perang?”
Idris Gassing memang terkesan tak melakukan upaya apapun malam itu.
Menurut Nurdin Sulistyo, Pangdam Gassing sepanjang malam itu ada di
Markas Kodam Bukit Barisan, tanpa merinci apa saja yang dilakukannya
ketika prajurit Linud menyerang Polisi. Pada 7 November lalu Gassing
juga dicopot dari jabatannya dan dipindahkan ke Jakarta tanpa pekerjaan
jelas.
Amru tak pulang lagi ke Bataliyon Linud setelah pemecatan. Hari itu juga
dia masuk sel tahanan. Di asrama Linud, Nur Asiah, yang tak berjumpa
dengan suaminya sejak ulangtahun Ayu Daulay, menangis-nangis ketika tahu
suaminya dipenjara.
Menurut Nur Asiah, yang saya temui di asrama Linud, suaminya bilang
padanya di penjara, ”Nggak apa-apa, Mak Ayu. Sabar aja. Mungkin sudah
garis tangan ayah begini. Ayah salah karena bela teman. Kita jalani dulu
prosesnya.”
“Dari kawan-kawannya saya tahu juga. Dia bilang dirinya yang menjadi pemanas kawan-kawannya supaya mau bergerak,” kata Nur.
Di Mahkamah Militer, 20 anggota Linud itu disidang dalam dua kelompok:
kelompok Abdul Rahmat yang terlibat dalam keributan Sabtu malam di
Polres Binjai dan kelompok Amru Daulay yang terlibat dalam penyerangan
malam kedua.
“Amru itu kebanggaan keluarga kami. Almarhum ayahnya selalu membanggakan
Amru pada siapa pun. Suami saya bilang sejak Amru jadi tentara rasanya
derajat keluarga kami terangkat. Orang-orang tidak sembarang lagi sama
keluarga kami. Kami punya pelindung sekarang,” kata Rosma boru Hasibuan
di rumahnya di Limau Sunde.
Rosma menasehati saya, “Kalau ibu punya anak, masukkan dia ke tentara. Dia akan jadi anak berbakti pada ibu.”
Amru memang penurut pada mamaknya. Ketika bujangan hidupnya agak nakal,
terkadang ikut teman-temannya mabuk. Tapi Amru berubah total ketika
berumah tangga. Apalagi setelah ikut pendidikan lagi untuk syarat naik
pangkat jadi Sersan. Sebagai seorang Sersan Dua, gaji Amru Rp 800.000
per bulan setelah dipotong sana-sini. Untuk membeli televisi, kursi tamu
dan sepeda motor, Amru minta pada mamaknya.
Tapi Amru tak pernah lupa dengan cita-cita terbesarnya: jadi orang kaya.
Tapi dia juga tahu bahwa tak mungkin kaya jika jadi tentara. Takdir
memutuskan lain. Amru bukan saja tak jadi kaya tapi dikeluarkan dari
ketentaraan. “Kalau saja kawan kami tidak ditembak, mungkin kami tidak
akan melakukan penyerangan itu,” katanya.
*Dipublikasikan Majalah PANTAU Jakarta Desember 2002
Dampak Langsung
Medan, Kompas - Sebanyak enam perwira di lingkungan Batalyon Lintas
Udara (Linud) 100/Prajurit Setia (PS) dicopot jabatannya dan 20 anggota
berpangkat Bintara dan Tamtama diberhentikan secara tidak hormat sebagai
buntut dari insiden Binjai. Selanjutnya, Komando Batalyon diambil alih
oleh Panglima Kodam I Bukit Barisan dan semua aktivitas pasukan pemukul
elite tersebut dibekukan selama setahun.
Pencopotan dan pemberhentian secara tidak hormat tersebut dilakukan
dalam sebuah apel luar biasa yang dipimpin langsung oleh Kepala Staf TNI
Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Ryamizard Ryacudu, di halaman Markas
Komando Daerah Militer (Kodam) I Bukit Barisan, Medan, Rabu (2/10/2002).
Acara tersebut dihadiri pula oleh Gubernur Sumatera Utara (Sumut) T
Rizal Nurdin.
Dalam amanatnya kepada para anggota Batalyon Linud 100/PS, KSAD
mengatakan, perbuatan yang dilakukan para anggota Batalyon Linud 100/PS
itu sebagai perbuatan gerombolan yang mengatasnamakan TNI dan justru
mengkhianati sumpah prajurit.
"Apa yang kalian lakukan pada kejadian itu sangat berdampak buruk pada
TNI Angkatan Darat, dan apa yang kalian lakukan bukan hanya harus
dipertanggungjawabkan oleh kalian sendiri, tetapi juga menjadi tanggung
jawab TNI," kata Ryamizard, yang sempat kehilangan kata-kata karena
menahan emosi dan terdiam cukup lama di tengah-tengah amanatnya.
Apel luar biasa yang diikuti oleh seluruh kesatuan di jajaran Kodam I
Bukit Barisan itu diawali dengan pencopotan tanda jabatan enam perwira
Batalyon Linud. Keenam perwira itu adalah Komandan Batalyon Mayor
Madsuni, Komandan Kompi Markas Letnan Satu (Lettu) Syawal, Komandan
Kompi Bantuan Lettu Dwi Swarno, Komandan Kompi A Lettu Putra Widya
Winaya, Komandan Kompi B Lettu Singgih Pambudi, dan Komandan Kompi C
Lettu Rafiola. Mereka selanjutnya akan bertugas sebagai perwira menengah
dan perwira pertama di Markas Kodam I Bukit Barisan.
Sedangkan 20 anggota Linud yang terdiri atas prajurit Bintara dan
Tamtama diberhentikan secara tidak hormat dari kedudukannya sebagai
prajurit TNI. Mereka masing-masing dikawal oleh seorang polisi militer.
KSAD mencopoti seluruh atribut dan melepaskan seragam mereka satu per
satu.
Dibekukan
Kepada wartawan usai upacara tersebut, KSAD mengatakan selanjutnya
Batalyon Linud dibekukan selama setahun. "Secara organisasi, Batalyon
ini dinyatakan tidak aktif dan pimpinan saya serahkan pada Panglima.
Tadinya Batalyon ini akan saya bubarkan, tetapi kemudian saya
pertimbangkan lagi karena Batalyon ini adalah kebanggaan masyarakat
Sumut," ujar KSAD.
Pertimbangan lainnya, lanjut KSAD, sebenarnya TNI masih kekurangan 20-30
Batalyon lagi, jadi kalau dibubarkan satu per satu akan merugikan TNI.
Menurut KSAD, setelah personel Batalyon Linud dibubarkan, pihaknya akan
merekrut dan melatih anggota baru, baik Perwira, Bintara, maupun
Tamtama. Sedangkan ke-20 anggota yang diberhentikan akan segera diproses
hukum.
"Dua puluh orang itu yang nyata kelihatan terlibat dalam kejadian
tersebut, sedangkan yang lain juga akan ditindak. Mungkin jumlahnya
mencapai 100 atau 200 orang, tapi kalau memang perlu dipecat akan saya
pecat," ujarnya.
No comments:
Post a Comment
terima kasih sudah berkunjung